TERUSAN API DI BUKIT MENOREH #397

Naskah asli diupload di http://cersilindonesia.wordpress.com

NAMUN mereka segera menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi ketika orang yang rambutnya sudah ubanan itu meloncat mundur sambil mencabut senjatanya, sebuah golok yang berukuran cukup besar.

“He, kalian orang orang bodoh, apakah kalian menikmati permainan ini,” teriaknya sambil meloncat maju menebaskan goloknya mengarah leher Rara Wulan, “cepat bantu kami menangkap perempuan iblis ini, ternyata selama ini dia telah mengelabui kita. Dia tentu telik sandi yang dikirim oleh orang orang Mataram.”

Bagaikan terbangun dari sebuah mimpi buruk, para pengikut Pangeran Ranapati pun segera berloncatan menebar mengepung Rara Wulan sambil mencabut senjata masing masing. Ada yang bersenjatakan sepasang pedang pendek, tombak bermata dua, bahkan ada yang bersenjatakan seutas rantai baja yang pada ujungnya dikaitkan sebuah bandul berupa bola baja berduri yang mengerikan.

Sejenak Rara Wulan berdiri termangu mangu di tengah tengah kepungan para pengikut Pangeran Ranapati. Diedarkan pandangan matanya menyapu seluruh lawan lawan yang mengelilinginya.

“Lima belas orang,” desisnya dalam hati.

Dengan penuh percaya diri, segera saja Rara Wulan mengurai selendangnya.

“Gila”, geram orang yang rambutnya sudah ubanan, “kau kira kami akan menari janggrung bersamamu, nduk? Tidakkah kau sadari bahwa senjata senjata kami akan dapat melumat tubuhmu, sementara kau hanya mengandalkan selendangmu? Kau tidak akan bertahan lebih dari sepenginang, nduk.”

“Menyerahlah, anak manis,” seorang yang masih terhitung muda dan berkumis tipis maju selangkah sambil mengacukan tombak pendek yang ujungnya bercabang dua kearah dada Rara Wulan, “Kami akan mengampuni selembar nyawamu, asalkan kau tidak banyak tingkah dan bersedia melayani kami dengan baik.”

Rara Wulan tidak menjawab. Dia sudah benar benar muak menghadapi tingkah polah para pengikut Pangeran Ranapati. Segera saja diputar selendangnya diatas kepala dengan disertai pengerahan tenaga cadangan. Akibatnya benar benar luar biasa, gaung yang keras disertai dengan udara yang berputar terasa menggetarkan setiap dada orang orang yang mengepungnya, bahkan Glagah Putih yang bersembunyi tidak jauh dari arena perkelahian itupun merasakan getarannya.

“Luar biasa,” kata Glagah Putih dalam hati, “agaknya Rara Wulan sudah tidak dapat menahan hatinya lagi untuk menghabisi lawan lawannya.”

Rara Wulan tidak menunggu lawan lawannya menyadari keadaannya karena pengaruh putaran selendangnya. Dengan sebuah loncatan panjang, Rara Wulan justru menyerang lawan yang berdiri tidak jauh di sebelah kanannya. Sebuah hentakan kuat dari ujung selendangnya berhasil menghentak dada orang tersebut. Sebuah umpatan kotor demikian saja terlontar dari mulutnya. Sambil mendekap dadanya yang serasa tertimpa sebongkah batu padas, dia terhuyung huyung beberapa langkah kebelakang. Namun ketahanan tubuh orang itu ternyata tidak begitu kuat. Dengan keluhan tertahan, akhirnya orang itupun jatuh terlentang, pingsan.

Para pengikut Pangeran Ranapati yang lain pun terkejut ketika melihat salah seorang kawannya dengan begitu mudah dilumpuhkan oleh Rara Wulan. Dengan teriakan kemarahan yang menggelegar, mereka pun segera menyerang Rara Wulan dari segala arah.

Rara Wulan menyadari bahwa dia harus berpacu dengan waktu. Semakin cepat dia mengurangi jumlah lawan lawannya, akan semakin berkurang pula tekanan yang dialaminya.

Sejenak kemudian, Rara Wulan pun semakin mempercepat serangannya. Ujung selendangnya serasa semakin dekat dengan kulit para pengikut Pangeran Ranapati yang mengeroyoknya.

Demikianlah, akhirnya sekali lagi terdengar keluhan tertahan disertai dengan sebuah umpatan yang sangat kotor ketika ujung selendang Rara Wulan kembali menggores lambung salah satu lawannya. Sebuah sabetan mendatar mengarah dada tidak mampu dielakkan walaupun lawannya sudah berusaha menghindar dengan melompat ke samping, namun ujung selendang Rara Wulan masih sempat melukai lambungnya. Walaupun goresan itu tidak terlampau dalam, namun karena tempat yang terkena goresan adalah bagian tubuh yang lemah, darah pun segera terpancar dari luka yang menganga.

Dengan mendekap erat lambungnya, orang itu pun berusaha bergeser dari arena perkelahian. Setapak demi setapak dia terhuyung dan akhirnya jatuh tertelungkup tidak bisa bangkit lagi.

Orang yang rambutnya sudah ubanan itu pun menggeram sambil menggeretakan giginya. Dengan sebuah lompatan panjang dia berusaha memotong gerak Rara Wulan yang melontar kesamping kiri menghindari tebasan pedang salah seorang lawannya. Sementara seorang pengikut Pangeran Ranapati yang bersenjatakan seutas rantai yang pada salah satu ujungnya terdapat bandul bola baja yang bergerigi berusaha menggapai sejauh mungkin tubuh Rara Wulan dengan menjulurkan senjatanya lurus kedepan dari arah meluncurnya Rara Wulan.

Rara Wulan tersenyum menyambut serangan beruntun ini. Dengan sedikit merendahkan tubuhnya, bandul bola baja bergerigi yang akan merobek punggungnya lewat sejengkal diatas kepalanya. Ketika tebasan golok orang yang rambutnya sudah ubanan itu tinggal sejengkal dari dadanya, dengan cepat dimiringkan tubuhnya dan dengan gerakan yang hampir tidak kasat mata, ujung selendang Rara Wulan menggeliat membelit pergelangan tangannya. Dengan sebuah sentakan yang kuat, orang yang rambutnya sudah ubanan itu pun bagaikan terhisap oleh kekuatan yang tiada taranya. Tubuhnya terlontar dengan deras membentur dinding rumah yang selama ini digunakan oleh Pangeran Ranapati dan para pengikutnya bersembunyi.

Terdengar pekik kemarahan dan makian dari mulut orang yang rambutnya sudah ubanan itu. Dengan tangkas dia mencoba meloncat berdiri, namun benturan yang terjadi tepat di kepalanya dengan dinding rumah itu agaknya telah membuat pandang matanya nanar. Sambil menyeringai menahan sakit di kepalanya, dia mencari lawannya yang telah berhasil melemparkannya membentur dinding. Dengan kemarahan dan dendam sampai ke ubun ubun, orang yang rambutnya sudah ubanan itupun segera bersiap untuk terjun kembali ke arena perkelahian yang semakin sengit.

Sementara itu, Pangeran Ranapati yang telah meninggalkan halaman rumah itu ternyata tidak pergi terlalu jauh. Dengan langkah perlahan lahan dia kembali mendekati regol halaman rumah yang selama ini ditempatinya. Beberapa langkah dari regol halaman, lamat lamat dia telah mendengar keributan perkelahian yang terjadi di halaman rumah itu.

Tidak ada seorang pun yang memperhatikan, ketika pintu regol terkuak dan sesosok bayangan tinggi besar muncul bediri di tengah tengah regol. Sejenak orang itu termangu mangu. Ditebarkan pandangan matanya kearah perkelahian. Seseorang telah terbaring tertelungkup, kemudian seorang lagi terlentang yang entah pingsan atau mati. Beberapa orang nampak tertatih tatih bergeser setapak demi setapak menghindar dari arena perkelahian yang mengerikan itu. Tinggal enam orang sisanya yang benar benar bertempur melawan Rara Wulan, sedangkan lainnya sudah tidak dapat memberikan perlawanan yang berarti.

Agaknya Rara Wulan telah bermaksud untuk segera menyelesaikan perkelahian itu, kalau saja sudut matanya tidak menangkap bayangan seseorang yang mendekati perkelahian dengan langkah satu satu.

Sebersit keragu raguan muncul dibenak Rara Wulan. Rasa rasanya dia mengenal orang itu, orang yang selama ini dikenal dengan nama Pangeran Ranapati.

“Gila”, geram Rara Wulan dalam hati, ”Ternyata Pangeran Ranapati tidak jadi meninggalkan rumah ini, apakah dia sudah menyadari apa yang sebenarnya terjadi selama ini? Bahwa selama ini aku telah menyamar dan berpura pura menjadi perempuan kebanyakan?”

Ketika Pangeran Ranapati tinggal beberapa langkah dari arena perkelahian, Rara Wulan pun tidak dapat menahan diri lagi. Dengan sebuah lompatan panjang, dia surut kebelakang. Lawan lawannya tidak memburunya, karena mereka tahu itu tidak akan ada gunanya. Bahkan mereka sangat bersyukur dapat sejenak mengatur nafas mereka yang berkejaran keluar masuk lewat lobang hidung.

“Selamat malam, Pangeran”, sapa Rara Wulan ramah, “Apakah Pangeran merasa ada sesuatu yang berharga yang tertinggal di rumah ini sehingga Pangeran memutuskan untuk kembali lagi?”

Pangeran Ranapati itupun tersenyum masam, jawabnya pelan dan datar, “Tentu saja ada. Ada yang ingin aku bawa dari halaman rumah ini, nduk. Sehingga aku memutuskan untuk kembali.”

“Apakah itu, Pangeran?”

“Kepalamu, perempuan iblis,” Geram Pangeran Ranapati, “Ternyata dugaanku selama ini benar sejak aku melihat bentuk punggungmu, punggung seseorang yang pernah mempelajari olah kanuragan tidak akan sama dengan punggung orang kebanyakan, betapapun engkau mencoba mengelabuhi aku. Nah, apakah sekarang engkau akan menyerah? Aku berjanji tidak akan membuatmu terlalu lama menderita menjelang kematianmu, asalkan engkau menyerah secara baik baik, dan jangan lupa sebut dimana kawan kawanmu bersembunyi sehingga prajurit prajuritku bisa menangkap mereka dan menggantung mereka di alun alun sebagai peringatan kepada orang orang yang mencoba mencampuri urusan seorang Pangeran dari Mataram, Pangeran Ranapati sekaligus Senopati kepercayaan Adipati Panaraga, Pangeran Jayaraga.”

Rara Wulan tertegun sejenak, dipandanginya Pangeran Ranapati dari ujung rambut sampai kaki, seolah olah dia ingin meyakinkan seberapa kekuatan yang tersimpan di tubuh yang kokoh itu.

“Aku yakin,” Desisnya dalam hati, “Aku dan kakang Glagah Putih pasti dapat mengatasinya.”

Namun ternyata Rara Wulan tidak menjawab sepatah kata pun dari pertanyaan Pangeran Ranapati. Yang dilakukannya justru melangkah surut beberapa langkah lagi, kemudian sambil berpaling pada sebuah gerumbul dibelakangnya dia berkata, ”Kakang, apakah kakang masih senang bersembunyi di semak semak dan dikerubuti nyamuk setelah Pangeran Ranapati sendiri telah hadir disini?”

Tidak segera terdengar jawaban. Gerumbul itu masih diam, tidak ada tanda tanda seseorang bersembunyi didalamnya.

Tiba tiba mereka yang hadir di halaman itu telah dikejutkan oleh suara seseorang yang berat dan dalam , termasuk pangeran Ranapati,
“Jangan kuwatir, Rara. Aku sudah siap membantumu menghadapi segala kemungkinan, meskipun untuk itu kita harus mempertaruhkan nyawa.” Jawab Glagah Putih yang berdiri beberapa langkah saja disamping Rara Wulan.

Pangeran Ranapati mengerutkan keningnya. Kehadiran Glagah Putih yang sedemikian saja tanpa sepengetahuannya telah mengisyaratkan kepadanya bahwa orang itu tentu memiliki ilmu yang tinggi. Apalagi ketika secercah cahaya lampu minyak yang tergantung di pendapa menimpa wajah Glagah Putih, betapa Pangeran Ranapati melihat seraut wajah yang tenang dan tegar, wajah yang hanya dimiliki oleh orang yang mempunyai landasan ilmu dan kepercayaan diri yang tinggi.

“Baiklah,” kata Pangeran Ranapati kemudian, ”Aku tidak tahu, apakah laki laki disampingmu itu adalah salah seorang kawanmu yang selama ini dicari oleh pengikutku. Tetapi yang pasti, aku akan membunuh kalian berdua yang telah dengan lancang berani mengikuti jejakku sejak dari lereng Merapi sampai ke Panaraga.”

Namun sebelum ketiga orang itu bersiap untuk memulai sebuah perkelahian yang dahsyat, terdengar sebuah isak tangis yang tertahan tahan disertai suara gemerisik dedaunan yang tersibak. Nampak sesosok tubuh yang ramping berjalan terseok seok mendekati ketiga orang yang sudah berhadap hadapan untuk mengadu tebalnya kulit dan kerasnya tulang.

“Pangeran,” isak perempuan itu sesampainya di depan Pangeran Ranapati.
Sambil berjongkok merangkul kaki Pangeran Ranapati perempuan itu kembali menangis menghiba iba, “Jangan tinggalkan hamba, Pangeran. Hamba takut.”

“Kaukah itu, Kanthil?”

“Hamba, Pangeran.” Suara Nyi Mas Kanthil hampir tidak terdengar diantara sedu sedannya.

“Mengapa engkau masih disini, Kanthil?” Suara Pangeran Ranapati terdengar berat dan dalam.

Masih dengan berjongkok dan merangkul kaki Pangeran Ranapati, Nyi Kanthil menjawab dengan suara bergetar menahan gelora di dadanya, “Hamba hanya ingin mengabdi kepada Pangeran, hamba tidak akan pernah bermimpi lagi untuk menjadi istri Pangeran. Selebihnya biarlah hamba menjadi pelayan di istana kepangeranan paduka, hamba rela dan hamba tidak akan menuntut apapun yang terjadi pada diri hamba yang hina ini.”

Pangeran Ranapati menarik nafas dalam dalam. Ditatapnya Nyi Kanthil yang masih berjongkok merangkul kakinya sambil menangis tertahan tahan. Sebersit keraguan muncul dihati Pangeran yang keras hati ini. Bukankah dia nantinya akan memerlukan beberapa pelayan juga di istananya untuk menyiapkan keperluannya sehari hari?

Atas pertimbangan itulah akhirnya Pangeran Ranapati pun berkata lunak, “Sudahlah Kanthil, suwitamu aku terima. Engkau kuangkat menjadi kepala pelayan di istanaku. Namun karena istanaku sedang dipersiapkan, untuk sementara kamu tinggal disini, pada saatnya nanti akan ada utusan yang aku perintahkan untuk menjemputmu.”
Bagaikan tersiram banyu sewindu hati Nyi Kanthil, sehingga tanpa bisa mengendalikan gejolak perasaannya, kaki Pangeran Ranapati pun diciuminya sambil menangis sejadi jadinya.

Rara Wulan yang berdiri tidak jauh dari Nyi Kanthil dan menyaksikan semua kejadian itu seutuhnya hanya bisa mengusap dada. Satu lagi gambaran sifat manusia, apabila cita cita sesuai yang diimpikannya tidak tercapai, dia tetap akan berusaha meraih apa saja yang ada didepannya, dengan mengorbankan keyakinan akan cita citanya semula, bahkan harga dirinya sekalipun.

“Berdirilah, Kanthil,” kata Pangeran Ranapati sambil menarik bahu Nyi Kanthil, kemudian sambil berpaling kepada orang yang rambutnya ubanan dia berkata, “Antar Nyi Kanthil masuk kedalam. Untuk selanjutnya perlakukan dia baik baik kecuali jika kalian sudah bosan mempunyai kepala.”

Orang yang rambutnya ubanan itu hanya bisa membungkuk hormat, kemudian katanya kepada Nyi Kanthil, “Marilah, Nyi. Aku antar ke dalam.”

Sambil membenahi pakaiannya yang kusut dan sesekali menyeka sisa sisa air matanya, Nyi Kanthil beringsut mundur sambil membungkuk hormat kearah Pangeran Ranapati, “Pangeran, hamba mohon diri.”

Pangeran Ranapati tidak menjawab, hanya mengangguk sekilas kemudian katanya kepada orang yang rambutnya ubanan, “Setelah mengantar Nyi Kanthil, kumpulkan kawan kawanmu yang terluka dan yang mungkin terbunuh. Obati yang terluka dan kubur yang terbunuh. Jangan lupa menyiapkan dua lubang kubur untuk orang orang ini. Aku hanya memerlukan waktu sekejab, sebelum matahari terbit mereka aku jamin sudah terbujur menjadi mayat.”

Kata kata itu memang sempat menggetarkan hati Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun sebagai dua orang yang berilmu tinggi, mereka tidak pernah meremehkan lawan bagaimanapun ujudnya, apalagi menghadapi Pangeran Ranapati yang sudah mereka saksikan berilmu sangat tinggi ketika terjadi benturan ilmu di arena adon adon di alun alun Panaraga

Demikianlah, sepeninggal Nyi Kanthil, perhatian Pangeran Ranapati pun segera kembali tertuju kepada lawan lawannya. Dengan perlahan namun penuh dengan kekuatan direnggangkan kedua kakinya selebar bahu dan bersamaan dengan itu, disilangkan kedua tangannya didepan dada. Sejenak kemudian tangan yang kanan pun ditarik mengepal sejajar dengan lambung bersamaan dengan kaki kanan yang ditarik kebelakang. Sementara tangan kirinya terjulur kedepan dengan telapak tangan terbuka dan jari jari mengembang bagaikan cakar seekor rajawali yang siap menerkam mangsanya. Dengan bertumpu pada kaki kirinya yang sedikit ditekuk, Pangeran Ranapati pun siap melontarkan serangan dahsyat.

Sejenak Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan, mereka pun segera menyadari bahwa lawannya tidak akan melakukan serangan penjajagan terlebih dahulu, namun langsung pada tataran tinggi dari ilmunya yang nggegirisi.

Suasana di halaman rumah yang digunakan oleh Pangeran Ranapati dan pengikutnya bersembunyi itu pun menjadi sangat mencekam. Para pengikut Pangeran Ranapati yang masih tersisa diam diam bergeser menjauh dari arena perkelahian agar tidak menjadi korban sia sia dari lontaran ilmu dari ketiga orang yang berilmu tinggi itu.

“Kasihan sekali kamu, nduk,” Orang yang rambutnya ubanan itu berkata dalam hati, ”Seandainya mungkin, aku ingin memintakan ampun untukmu pada Pangeran Ranapati, tetapi itu semua tidak mungkin.” Orang yang rambutnya ubanan itu menghela nafas dalam dalam, tatapan matanya lekat pada seraut wajah cantik Rara Wulan. Dia tidak bisa membayangkan bahwa wajah secantik itu akan hancur lumat diterjang ilmu Pangeran Ranapati.

Namun lamunan orang yang rambutnya ubanan itu bagaikan selembar awan yang tertiup badai di musim kemarau, hancur berantakan ketika tiba tiba saja dia merasakan bumi yang dipijaknya bergetar keras. Mula mula dia mengira bahwa itu adalah akibat dari benturan ilmu dari Pangeran Ranapati dan lawan lawannya, namun anggapan itu segera dibantahnya sendiri ketika dia melihat orang orang yang sudah bersiap untuk mengadu ilmu itu sama sekali belum beranjak dari tempat mereka. Bahkan mereka pun kelihatannya juga terpengaruh oleh getaran yang belum diketahui sebabnya.

Bumi yang mereka pijak pun semakin bergetar keras disertai suara gemuruh yang semakin lama semakin mendekati rumah yang dipakai oleh Pangeran Ranapati dan pengikutnya bersembunyi.

Sejenak kemudian merekapun baru menyadari bahwa suara gemuruh itu berasal dari derap kaki kuda yang jumlahnya puluhan berderap bersama di jalan padukuhan menuju ke tempat mereka berada.

“Pasukan berkuda Kadipaten Panaraga,” Desis pangeran Ranapati sambil mengerutkan keningnya ketika dilihatnya beberapa ekor kuda beserta penunggangnya menghambur memasuki pintu regol.

Segera saja pasukan berkuda itupun bergerak melingkar mengepung orang orang yang ada di halaman rumah itu. Jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh.

“Selamat malam, Pangeran. Apakah kami sudah terlambat?”

Seseorang yang berkuda paling depan menyapa Pangeran Ranapati sambil melompat turun dari kudanya. Diserahkannya kendali kudanya kepada seorang Lurah prajurit di sebelahnya yang sudah melompat turun dari kudanya lebih dahulu. Orang itu ternyata Mas Panji Wangsadrana.

Pangeran Ranapati menggeram, jawabnya, ”Mengapa engkau malam malam begini membawa pasukan segelar sepapan kesini, Mas Panji? Apakah engkau tidak punya kerjaan lain sehingga telah membangunkan seluruh isi padukuhan ini dengan pasukan berkudamu?”

Mas Panji Wangsadrana pun tersenyum, dia sudah tahu benar watak dari Pangeran Ranapati yang mudah tersinggung dan naik darah.

Dengan membungkuk hormat, Mas Panji Wangsadrana pun menjawab, “Maafkan kami Pangeran, sesungguhnya kami telah menerima laporan dari prajurit yang sedang meronda bahwa telah terjadi perkelahian di halaman rumah ini, sehingga kami memutuskan untuk datang membantu Pangeran.”

“He,” Segera saja wajah Pangeran Ranapati menjadi merah padam.
“Apakah engkau mengira aku tidak akan mampu menyelesaikan clurut clurut ini sendirian? Justru kedatangan kalian telah memberi kesempatan kepada mereka untuk menghirup udara malam ini lebih lama lagi. Seharusnya mereka berdua sudah terbujur menjadi mayat.” Teriak Pangeran Ranapati sambil berpaling kearah Glagah Putih dan Rara Wulan.

Namun alangkah terkejutnya Pangeran Ranapati, ternyata kedua orang lawannya sudah tidak ada lagi ditempatnya. Yang terbentang di hadapannya hanyalah kegelapan yang masih tersisa di penghujung malam menjelang dinihari.

“Pengecut” Teriak Pangeran Ranapati. Dalam sekejab tubuhnya melenting bagaikan seekor bilalang yang kemudian hinggap diatas pagar tembok pembatas halaman rumah itu. Sejenak kemudian diedarkannya pandangan matanya menyapu ke seluruh sudut sudut diluar pagar tembok yang mungkin dapat dijadikan tempat persembunyian bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun yang terlihat hanyalah pepohonan dan gerumbul gerumbul perdu yang bergoyang perlahan dipermainkan oleh angin pagi yang bertiup lembut. Sementara kicau burung pun terdengar semakin ramai menyambut fajar.

Mas Panji Wangsadrana yang melihat Pangeran Ranapati berusaha mengejar lawan lawannya bermaksud untuk menyusulnya. Namun baru saja Mas Panji Wangsadrana bergeser beberapa langkah, ternyata Pangeran Ranapati telah meloncat turun dari pagar tembok, kemudian dengan tergesa gesa melangkah mendekati Mas Panji Wangsadrana.

“Tidak ada gunanya kita berlama lama disini,” Katanya kepada Mas Panji Wangsadrana, kemudian sambil berpaling kepada orang yang rambutnya ubanan, Pangeran Ranapati pun memberikan perintahnya,”Kumpulkan kawan kawanmu yang tersisa, ajak nyi Kanthil serta, kita harus segera meninggalkan tempat ini. Para telik sandi Mataram ternyata sudah mengetahui tempat kita ini sehingga tidak ada gunanya kita mempertahankan tempat ini sebagai sarana pertemuan kita. Aku harap Mas Panji wangsadrana bersedia memberikan tempat berteduh bagi para pengikutku serta Nyi Kanthil, apapun ujudnya tempat itu, aku tidak akan berkeberatan.”

“Baiklah Pangeran,” sahut Mas Panji Wangsadrana,”Aku mempunyai sebuah rumah warisan dari orang tuaku. Rumah itu kosong tetapi aku jamin tetap bersih dan terpelihara karena selama ini ditunggui oleh sepasang suami istri pembantu rumah tangga keluarga kami dulu, walaupun mereka sudah cukup tua, namun masih rajin bekerja.”

Pangeran Ranapati mengangguk angguk, kemudian katanya, “Terima kasih Mas Panji. Marilah kita segera berangkat mumpung hari belum begitu terang. Kita akan memasuki kota sebelum fajar benar benar terbit sehingga tidak banyak menarik perhatian.”

Demikianlah, akhirnya iring iringan itu pun bergerak meninggalkan rumah yang selama ini dijadikan oleh Pangeran Ranapati dan pengikutnya bersembunyi. Pasukan berkuda itu bergerak mendahului dengan dipimpin oleh seorang Lurah Prajurit. Sementara itu Pangeran Ranapati berkuda berjajar dengan mas Panji Wangsadrana, sedangkan pengikut pangeran Ranapati dan Nyi kanthil mengikuti dari belakang dengan berjalan kaki.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan yang berhasil lolos dari pengamatan Pangeran Ranapati telah semakin jauh meninggalkan rumah yang dijadikan persembunyian Pangeran Ranapati dan pengikutnya selama ini. Mereka sengaja mengambil jalan yang tidak banyak dilalui orang, jalan jalan setapak, lorong lorong sempit bahkan tidak jarang mereka harus melompati pagar pagar yang tinggi dari halaman rumah seseorang hanya untuk sekedang memotong jalan agar segera sampai di rumah yang selama ini dipakai mereka berkumpul, Ki Madyasta dan para telik sandi yang lain.

Ketika mereka sampai pada sebuah sungai yang mengalir membelah sisi utara kota Panaraga, tanpa berjanji mereka segera menghambur menuruni tebing sungai yang cukup curam. Bagi orang kebanyakan mungkin memerlukan waktu serta kehati hatian yang tinggi untuk menuruni tebing sungai tersebut, apalagi dimalam hari. Namun seakan mereka tanpa benjanji telah berlomba dengan mengerahkan tenaga cadangan mereka untuk berloncatan dari batu yang satu ke batu yang lainnya. Semakin lama gerakan mereka semakin cepat sehingga seandainya ada orang yang sedang menyusuri sungai tersebut yang entah karena suatu keperluan, pasti dia mengira telah melihat hantu hantu yang sedang berterbangan mencari mangsanya.

Namun tiba tiba saja Glagah Putih menghentikan langkahnya sambil berdesis pelan, “Wulan, apakah engkau merasakan sesuatu?”

Rara Wulan yang juga menghentikan langkahnyapun ikut tertegun sejenak, jawabnya, “Aku merasa aneh Kakang, sewaktu kita berlari larian diatas batu batu sungai tadi, ada sebuah bayangan yang menyambar diatas kita dengan sangat cepat dan mendahului langkah kita.”

“Apakah engkau yakin itu bukan sebangsa burung atau apapun yang terbang diatas kita?” Bertanya lagi Glagah Putih untuk memastikan bahwa mereka tidak salah menilai atas apa yang baru saja mereka alami.

“Tidak kakang,” jawab Rara Wulan sambil mengedarkan tatapan matanya menyusuri tebing tebing disebelah menyebelah sungai, “Aku tidak yakin kalau itu seekor burung atau sebangsanya yang dapat terbang melebihi kecepatan kita berlari.”

Glagah putih menarik nafas dalam dalam. Malam sudah hampir sampai keujungnya. Dengan jelas glagah putih dapat memperhatikan setiap jengkal tanah yang ada disekitarnya, gerumbul gerumbul perdu yang berserakan di sisi sebelah menyebelah tebing yang rendah, serumpun pohon bambu yang menjorok agak jauh disisi kiri sungai, serta sebuah pohon Lo yang besar dan berdaun rimbun yang tumbuh condong hampir rebah beberapa puluh langkah dihadapan mereka. Dahan dan rantingnya yang besar dan panjang -panjang itu bagaikan tangan tangan hantu yang siap memangsa setiap orang yang lewat dibawahnya.

Untuk beberapa saat keduanya berdiam diri, mencoba memusatkan nalar dan budi untuk mempertajam panca indra mereka, terutama sapta pandulu dan sapta pangrungu. Namun sejauh itu tidak ada suara ataupun gerak yang dapat dijadikan landasan bagi mereka untuk meyakini bahwa apa yang baru saja mereka alami itu adalah benar benar nyata dan terjadi.

Akhirnya perlahan lahan Glagah Putihpun mengurai pemusatan nalar dan budinya diikuti oleh Rara Wulan. Mereka yakin bahwa apa yang baru saja mereka alami mungkin adalah kesalahan penafsiran terhadap apa yang terjadi atas alam sekelilingnya.

“Marilah,” ajak Glagah Putih pada Rara Wulan, “Sebelum fajar kita harus sudah sampai di tempat Ki Madyasta, kita perlu membicarakan kemungkinan kemungkinan yang akan kita kerjakan dimasa masa datang setelah pertemuan kita dengan Pangeran Ranapati.”
Rara Wulanpun mengangguk anggukan kepalanya, sambil berjalan naik ketepian sungai, ditariknya nafas dalam dalam seolah olah ingin dipenuhinya seluruh rongga dadanya dengan udara pagi yang masih segar. Seolah ingin dilepaskannya ketegangan yang selama ini mencengkam jantungnya sejak dia menyamar menjadi pembantu di rumah yang dijadikan persembunyian oleh Pangeran Ranapati dan pengikutnya.

Sejenak kemudian mereka pun sudah mencapai tepian sungai yang tidak seberapa lebar dan dalam itu. Namun alangkah terkejutnya mereka ketika baru saja mereka mulai akan mendaki tebing , terdengar suara seseorang bergumam justru hanya beberapa langkah saja di belakang mereka.

Bagaikan sepasang singa yang ditarik ekornya, keduanya pun segera membalikkan badan dengan cepat sambil bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan.
Rasa rasanya jantung keduanya hampir pecah oleh ketegangan yang memuncak ketika tampak di depan mereka dalam keremangan malam menjelang pagi, seseorang berdiri hanya beberapa langkah saja dihadapan mereka dengan kaki rengang dan tangan bersilang di dada.

“Gila,” umpat Glagah Putih didalam hatinya, “Bagaimana mungkin orang ini bisa lolos dari pengamatanku dan Rara Wulan?”

Namun ternyata itulah yang telah terjadi, seseorang dengan ikat kepala yang digunakan untuk menutupi sebagian wajahnya telah berdiri dihadapan mereka berdua dengan kaki renggang dan tangan bersilang di dada.

Terdengar orang itu tertawa tertahan tahan. Sikapnya itu saja sudah cukup membuat Glagah Putih dan Rara Wulan harus menahan gejolak amarah yang tiada taranya. Apalagi ketika kemudian dengan tenang seolah tidak pernah terjadi apa apa, orang itu mengurai kedua tangannya yang bersilang didada dan melangkah berlalu menjauhi Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Ki sanak, tunggu dulu,” teriak Glagah Putih dan Rara Wulan hampir bersamaan.

Langkah orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itupun terhenti sejenak, sambil berpaling orang itu menyahut, suaranya terdengar melengking tinggi menyakitkan telinga, “Ada apa Ki sanak? Apakah kita mempunyai urusan yang harus diselesaikan?”

Dengan dada yang berdebaran Glagah Putih mencoba mengamati sosok orang yang berdiri didepannya ini. Ada satu kesimpulan yang dapat dijadikan pedoman bagi Glagah Putih, orang ini mencoba menyembunyikan jati dirinya baik dengan menutup sebagian wajahnya dengan ikat kepala maupun dengan cara menyamarkan suaranya. Semua itu dilakukan pasti dengan suatu tujuan agar dapat mengaburkan pengamatan Glagah Putih dan Rara Wulan atas jati diri orang ini yang sebenarnya.

Glagah Putih mempunyai keyakinan bahwa jika orang ini berhadapan dengan mereka berdua dalam keadaan yang sewajarnya, tidak menutup kemungkinan bahwa mereka berdua mengenal orang ini dengan baik atau setidak tidaknya pernah bertemu sehingga akan dapat membangkitkan suatu ingatan tentang keberadaan orang tersebut.

“Ki Sanak,” kata glagah Putih setelah debar didadanya agak mereda, “Ki sanak tidak bisa pergi begitu saja tanpa harus mempertanggung jawabkan perbuatan Ki sanak.”

“Aku..?” tanya orang tersebut keheran heranan, “Apa yang telah aku perbuat terhadap Ki sasak berdua sehingga aku harus mempertanggung jawabkan?”

Untuk sejenak Glagah Putih kebingungan, ditatapnya wajah Rara Wulan yang berdiri termangu mangu disampingnya. Namun Glagah putih tidak segera dapat menangkap kesan yang ada di wajah Rara Wulan selain kerut merut yang semakin dalam.

“Nah,” kata orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itu, nada suaranya tetap tinggi melengking lengking menyakitkan telinga, “Apakah memang sudah menjadi kebiasaan Ki sanak untuk memancing persoalan dengan setiap orang yang Ki sanak jumpai di perjalanan?”

“Gila,” geram Glagah Putih, “Engkau jangan memutar balikan kenyataan, siapakah sebenarnya yang memulai membuat persoalan?”

“Ya,” Rara Wulan pun ikut mendukung pernyataan Glagah Putih, “Ki sanak telah mengikuti perjalanan kami selama ini. Kenyataan bahwa Ki sanak telah mengikuti kami secara diam-diam dan kemudian menyembunyikan jati diri Ki sanak adalah pertanda bahwa Ki sanak mempunyai maksud yang tidak sewajarnya dan sengaja mencari persoalan dengan kami.”

“He,” orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itu pun bergeser setapak maju, “Aku tidak merasa mengikuti perjalanan siapapun. Adalah kebetulan sekali bahwa perjalanan kita adalah searah. Justru kalianlah yang melakukan kesalahan itu, kalian mencoba untuk mengetahui arah dimana aku berada. Itu adalah kesalahan kalian yang seharusnya sudah cukup sebagai alasan bagiku untuk membuat perhitungan.”

“Silahkan,” sahut Rara Wulan tak kalah serunya, ternyata justru Rara Wulan lah yang tidak bisa menahan diri lagi, “Ki sanak tidak usah mencari alasan yang berputar putar hanya sekedar sebagai dalih untuk membuat persoalan dengan kami.“

“Baiklah,” jawab orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itu sambil tertawa terkekeh-kekeh menyakitkan telinga, “Marilah kita selesaikan persoalan ini dengan cara kita, cara orang orang di dunia olah kanuragan, kita mencari tempat yang lebih lapang di tepian sungai ini, aku tidak berkeberatan jika kalian maju bersama sama, bagiku sama saja, semakin cepat aku menyelesaikan persoalan ini, semakin cepat pula aku meneruskan perjalananku.”

Hampir bersamaan Glagah Putih dan Rara Wulan menggeretakkan giginya, kemarahan mereka seakan akan telah mencapai ubun ubun, kelihatannya orang ini dengan sengaja ingin membuat keributan dengan mereka berdua, namun demikian mereka pun mengikuti saja langkah orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itu menuju ke tepian sungai yang berpasir dan agak luas.

Mula mula terbersit dugaan di hati Glagah Putih bahwa orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itu adalah Ki Darma Tanda, yang menurut Madyasta mempunyai kemampuan yang tiada taranya. Namun dugaan itu segera dibantahnya sendiri menilik ujud lahiriahnya mereka berbeda, Ki Darma Tanda berperawakan agak gemuk, sedangkan orang ini berbadan ramping tetapi tegap dan tampak kokoh.

Sedangkan Rara Wulan hanya mempunyai satu pemikiran, yaitu ingin segera menghajar orang yang mempermainkan mereka berdua dan segera tahu siapa sejatinya orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itu dan tujuan dibalik sikapnya yang aneh aneh.

Ketika kemudian mereka bertiga telah sampai di tempat yang cukup lapang dan luas ditepian sungai tidak jauh dari pohon Lo yang besar dan berdaun rimbun, maka orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itupun berhenti kemudian dengan tenang membalikan badannya menghadap ke arah Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Sebentar Ki sanak,” Glagah Putih mencoba mencairkan suasana, “Apakah tidak ada jalan lain yang lebih baik untuk menyelesaikan persoalan kita ini?”

“O,” tiba tiba orang itu tertawa, “Apakah kalian menyerah?”

“Diam,” bentak Rara Wulan, lalu katanya kepada Glagah Putih, “Kakang, kita tidak usah berbelas kasihan kepada orang gila ini, masih banyak pekerjaan yang harus kita selesaikan, orang ini hanya mengulur waktu saja, mungkin dia sengaja menunggu kehadiran teman temannya yang lain untuk mendapatkan bantuan.”

“Ah,” desah orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itu, “Apakah untuk menyelesaikan kalian berdua diperlukan pasukan segelar sepapan?”

“Jangan sombong Ki sanak,” geram Rara Wulan sambil melangkah mendekat, “Cukup aku sendiri saja yang akan meladeni Ki sanak, biarlah Kakang Glagah Putih menjadi saksi atas hancurnya kesombongan Ki sanak.”

Selesai berkata demikian, Rara Wulan segera mengambil sikap. Kedua kakinya merenggang selebar bahu dengan kaki kiri di depan, sementara kedua telapak tangannya yang terbuka dengan jari jari merapat dan menghadap kedepan, perlahan lahan diangkat menyilang di depan dada sejajar dengan pundak, sikap yang mendebarkan dari puncak sebuah ilmu yang mereka sebut dengan nama Aji Namaskara.
Glagah Putih terkejut melihat sikap permulaan dari serangan Rara Wulan itu. Dengan sekali loncat dia sudah berada disamping Rara Wulan sambil menahan pundak Rara Wulan.

“Wulan, jangan..!” cegahnya sambil terus berusaha menekan pundak Rara Wulan agar dia tidak jadi memusatkan nalar budi untuk melontarkan sebuah Aji yang nggegirisi, Aji Namaskara.

“Kakang, mengapa kakang mencegahku untuk menghancurkan orang yang sombong ini?” tanya Rara Wulan sambil mengendorkan getaran urat urat nadinya yang tadinya sudah siap menghimpun tenaga untuk menyalurkan sebuah aji yang dahsyat tiada taranya.

“Itu tidak perlu Wulan, sedahsyat apapun aji yang akan engkau trapkan pada orang itu, aku yakin itu tidak akan berpengaruh banyak, karena di dalam dirinya tersimpan segala macam ilmu yang tak terbatas.”

“Engkau salah,” potong orang yang menutupi sebagian wajahnya dengan ikat kepala itu, justru dengan nada suara yang sewajarnya sehingga Rara Wulan menjadi berdebar debar, seolah suara itu sudah dikenalnya dengan baik, kemudian lanjutnya, “Segala sesuatu itu pasti ada batasnya, hanya Yang Maha Agung lah yang memiliki kekuasaan tak terbatas atas seluruh jagad raya ini”

Selesai berkata demikian, orang itu merenggut kain ikat kepala yang menutupi sebagian wajahnya. Seberkas cahaya pagi yang mulai mengusir kegelapan dibawah bayangan pohon Lo itu sekilas menerangi wajahnya, sehingga tampaklah sebuah wajah yang mulai merambat ke usia tua, wajah yang sangat dikenal oleh mereka berdua.

“Kakang Agung Sedayu..!” pekik Rara Wulan.

Sementara Glagah Putih pun menarik nafas dalam dalam. Panggraitanya yang tajam dan pengenalannya bertahun tahun atas diri kakak sepupunya yang sekaligus gurunya ini tidak bisa dikelabui dengan hanya sekedar menutup selembar kain ikat kepala diwajah dan mengubah nada suaranya.

Sambil membungkuk hormat Glagah Putih pun menyalami orang yang ternyata memang Ki Rangga Agung Sedayu, “Selamat datang di bumi Panaraga, Kakang.”

“Terima kasih Glagah Putih,” Jawab Ki Rangga Agung Sedayu kemudian katanya kepada Rara Wulan, “Marilah Rara, ada beberapa berita yang akan aku sampaikan kepada kalian sehubungan dengan tugas yang kalian emban.”

Mereka bertiga pun kemudian berjalan beriringan diatas pasir tepian sungai menjauhi pohon Lo yang tumbuh hampir tumbang menjorok dari sisi tepian satu ke sisi tepian yang lainnya. Ketika mereka telah sampai di tempat yang terdapat bebatuan yang berserakan ditepian sungai itu, merekapun segera memilih tempat untuk beristirahat sambil berbincang menanyakan keselamatan masing masing.

“Kakang, kepergian Kakang ke timur ini apakah ada sesuautu yang penting untuk kepentingan Mataram ataukah Kakang mempunyai rencana tersendiri?” tanya Glagah Putih setelah mereka saling menanyakan keselamatan masing masing dan keluarga yang di tinggal di Tanah Perdikan Menoreh.

“Ketahuilah Glagah Putih,” Jawab Ki Rangga Agung Sedayu, “Kepergianku ke timur ini atas perintah Ki Patih Mandaraka. Beliau telah memanggilku untuk mengadap ke istana kepatihan sehubungan dengan adanya perkembangan berita dari para telik sandi Mataram yang mengamati padepokan yang di tinggalkan oleh Pangeran Ranapati.”

Glagah Putih dan Rara Wulanpun saling berpandangan sejenak. Menurut pengamatan mereka berdua selama membututi gerak gerik Pangeran Ranapati, di padepokan yang terletak di sebelah timur lereng Merapi itu tidak ada kekuatan yang mendebarkan kecuali Pangeran Ranapati itu sendiri. Para Putut, Jejanggan, Manguyu dan cantrik yang ada kemampuannya sangat terpaut jauh dengan orang yang menyebut dirinya keturunan dari Panembahan Senopati itu, bahkan mereka telah membuktikannya sendiri.

“Kakang,” setelah sejenak berdiam diri Glagah Putihpun menyahut, “menurut pengamatan kami berdua, bahkan kami sudah pernah terlibat langsung dengan para cantrik padepokan Pangeran Ranapati, di padepokan itu tidak ada kekuatan yang patut diperhitungkan sepeninggal Pangeran Ranapati.”

“Engkau benar Glagah Putih, namun dalam perkembangannya, ternyata sepeninggal Pangeran Ranapati yang berangkat menuju ke Panaraga, telah datang di padepokan itu seseorang yang sangat berpengaruh dan dihormati oleh Pangeran Ranapati, yaitu Guru Pangeran Ranapati itu sendiri.”

“Guru Pangeran Ranapati?” hampir berbareng Glagah putih dan Rara Wulan berseru.

“Ya, para cantrik padepokan menyebutnya Ki Singa Wana Sepuh.”

“O..” desis Glagah Putih sambil mengangguk anggukan kepalanya, “Karena itulah agaknya Pangeran Ranapati dalam pengembaraannya kadang menyebut dirinya Ki Singa Wana.”

“Ya,” tambah Ki Rangga Agung Sedayu, “Bahkan berita terakhir dari para telik sandi Mataram, setelah mengetahui bahwa Pangeran Ranapati telah pergi ke timur, Ki Singa Wana Sepuh itu pun telah menyusulnya kemari.”

“Dan untuk itulah agaknya Ki Patih Mandaraka mengirim Ki Rangga Agung Sedayu jauh jauh dari Tanah Perdikan Menoreh sekedar untuk membuat perimbangan dengan kehadiran guru Pangeran Ranapati itu.” Kata Glagah Putih sambil tersenyum dan memandang penuh arti ke arah Rara Wulan.

“Ah..” desis Ki Rangga Agung Sedayu, “Itu adalah anggapan yang berlebih lebihan, sebenarnyalah tugasku hanya untuk mengingatkan kalian berdua karena yang akan kalian hadapi bukan hanya Pangeran Ranapati seorang, tapi juga sekaligus gurunya.”

“Tapi mengapa kalau hanya untuk memberitahukan kehadiran guru Pangeran Ranapati harus dikirim seorang Rangga yang pilih tanding, bukannya seorang prajurit telik sandi yang dapat menyamar menjadi siapa saja tanpa menarik perhatian?” tanya Rara Wulan yang sedari tadi hanya berdiam diri.

Glagah Putih yang mendengar pertanyaan Rara Wulan itupun tertawa tergelak, sahutnya, “ Wulan, apakah engkau belum mengenal pribadi Ki rangga Agung Sedayu ini? Apakah engkau mengharapkan Ki rangga Agung sedayu menjawab sambil menengadahkan dadanya, “Pangeran Ranapati itu urusan kalian berdua, biarlah gurunya menjadi urusanku , murid bertemu murid, guru bertemu guru.”

“Ah sudahlah, “ Ki Rangga Agung Sedayu mencoba mengalihkan arah pembicaraan, “Sebenarnyalah perkembangan hubungan Mataram dengan Panaraga semakin mengkawatirkan. Sudah tiga bulan ini Adipati panaraga Pangeran Jayaraga tidak mengirimkan utusan ke Mataram sebagai tanda bakti seorang Adipati kepada Rajanya, dan kelihatannya suasana ini akan dimanfaatkan oleh Pangeran Ranapati yang sekarang sudah resmi diangkat menjadi senapati di Kadipaten Panaraga.”

Glagah Putih pun menarik nafas dalam dalam. Terbayang kembali dalam ingatannya peperangan demi peperangan serta pertumpahan darah yang seharusnya tidak usah terjadi justru karena pertikaian itu terjadi diantara keluarga sendiri. Bukankah adipati panaraga Pangeran Jayaraga itu masih terhitung saudara Panembahan Hanyakra Kusuma di Mataram?

“Panaraga justru akan semakin yakin dalam membangun kekuatannya dengan terpilihnya Pangeran Ranapati sebagai senopati serta kehadiran gurunya Ki singa Wana Sepuh.” Desis Glagah Putih perlahan lahan tanpa disadarinya.

“Demikianlah agaknya menurut perhitungan Ki Patih Mandara pada waktu aku menghadap beliau di Kepatihan.” Sahut Ki Rangga Agung Sedayu.

“Kakang,” tiba tiba Rara Wulan menyela, “ Mengapa kakang tidak mengajak mbokayu Sekar Mirah untuk ikut pergi ke Panaraga? Alangkah senangnya aku bisa mempunyai kawan dalam pengembaraan ini.”

Ki Rangga Agung Sedayu termangu mangu sejenak. Dilemparkan pandangan matanya jauh ke hulu sungai yang tampak bekelok kelok. Sinar matahari yang mulai menerangi tebing tebing sungai tampak berkilat kilat menimpa dedaunan yang masih basah oleh titik titik embun semalam. Kilauan butiran embun yang tertimpa sinar matahari itu bagaikan butiran permata yang bertebaran di atas dedaunan dan rerumputan disela sela batu padas di tebing sebelah menyebelah sungai.

Ki Rangga Agung Sedayu termangu mangu sejenak. Dilemparkan pandangan matanya jauh ke hulu sungai yang tampak bekelok kelok. Sinar matahari yang mulai menerangi tebing tebing sungai tampak berkilat kilat menimpa dedaunan yang masih basah oleh titik titik embun semalam. Kilauan butiran embun yang tertimpa sinar matahari itu bagaikan butiran permata yang bertebaran di atas dedaunan dan rerumputan disela sela batu padas di tebing sebelah menyebelah sungai.

“Rara,” pelan Ki Ranga Agung Sedayu berkata sambil memandang ke arah Rara Wulan yang termangu mangu, “Sudah waktunya Mbokayumu untuk beristirahat, tidak melibatkan diri lagi terhadap perkembangan keadaan yang ada di sekitarnya. Selain itu, perkembangan kesehatannya akhir akhir ini menuntut Mbokayumu untuk lebih memperhatikan dirinya sendiri melebihi dari hari hari biasanya.”

Rara Wulan tertegun sejenak. Menurut pengamatannya selama bergaul dengan Sekar Mirah, jarang sekali Mbokayunya itu menderita sakit, bahkan dalam sebuah benturan olah kanuragan yang sangat berat pun Mbokayunya itu jarang mengalami luka yang parah sehingga mengganggu keseimbangan kesehatannya.

“Apakah Mbokayu Sekar Mirah sedang sakit?” dengan penuh keraguan akhirnya pertanyaan itu pun terlontar dari mulut Rara Wulan.

“Tidak dalam arti yang sebenarnya, namun Mbokayumu memang memerlukan waktu khusus untuk lebih mengenal perubahan perubahan yang sedang terjadi di dalam dirinya.”

Rara Wulan semakin tidak mengerti dengan penjelasan penjelasan dari Ki Rangga Agung Sedayu yang berbelit belit, bahkan Glagah Putih yang duduk disebelahnya pun mempunyai tanggapan yang berbeda atas penjelasan Ki Rangga Agung Sedayu.

“Kakang,” berkata Glagah Putih setelah beberapa saat tidak bisa menahan diri untuk mengetahui keadaan Sekar Mirah, “Apakah Mbokayu Sekar Mirah sedang menjalani suatu laku untuk peningkatan ilmunya?”

“O.. tidak Glagah Putih,” dengan cepat Ki Rangga Agung Sedayu menyahut sambil tersenyum, “Tidak ada usaha dalam peningkatan ilmu sama sekali, Mbokayumu hanya perlu lebih banyak meluangkan waktu untuk mengurusi dirinya sendirinya sehubungan dengan karunia yang telah kami terima dari Yang Maha Agung.”

Selesai berkata demikian tampak senyum dibibir Ki Rangga Agung Sedayu semakin lebar yang membuat Glagah putih dan Rara Wulan semakin tidak mengerti arah pembicaraan dari Ki Rangga Agung Sedayu.

Namun tampaknya Ki Rangga Agung Sedayu tidak sampai hati berlama lama membiarkan Glagah Putih dan Rara Wulan dalam kebingungan, maka katanya kemudian, “Kami sekeluarga sangat bersyukur atas karunia yang telah diberikan oleh Yang Maha Agung sehingga kami diberi kepercayaan untuk mengemban amanahNya. Semoga kebahagian itu segera terwujud bersama hari hari penuh harap dari Mbokayumu, atas ijin dan perkenanNya untuk menjadi wanita yang sempurna, bukan hanya seorang istri, tapi juga seorang ibu.”

“Jadi..jadi..Mbokayu mengandung..?” jerit Rara Wulan kegirangan sambil meloncat berdiri dari tempat duduknya disamping Glagah Putih. Kalau saja Glagah Putih tidak dengan segera meraih tangannya dan menariknya kembali ke tempat duduknya, niscaya Rara Wulan sudah melonjak lonjak kegirangan sambil menari nari seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan sebuah mainan.

“Tenanglah wulan,” bisik Glagah putih mencoba menenangkan Rara Wulan yang mulai terisak isak, mencoba menahan keharuan hatinya yang membuncah di dalam dadanya.
Dengan perlahan Rara Wulan pun kemudian mengambil tempat duduk kembali disamping Glagah Putih. Kedua tangannya sibuk mengusap air mata yang berderai-derai membasahi kedua pipinya tanpa dapat dikuasainya oleh hentakan perasaan yang sangat mengejutkan sekaligus mengharukan hatinya.

Dia sudah sering mendengar cerita Glagah Putih tentang keluarga kakak sepupunya itu. Betapa mereka berdua sangat mengharapkan hadirnya buah hati yang dapat dijadikan tautan kasih sayang diantara mereka. Anak adalah ibarat perekat kasih sayang diantara sepasang suami istri. Seandainya terjadi suatu perbedaan pendapat atau kepentingan bahkan mungkin dapat berujung pada sebuah pertengkaran, hendaknyalah masing masing dapat menahan diri dan melihat kepentingan yang lebih besar dalam keluarga itu. Keberadaan anak anak diantara mereka akan dapat dijadikan suatu pertimbangan tentang apa yang seharusnya mereka perbuat, mengingat diantara mereka ada suatu tanggung jawab bersama untuk memberikan yang terbaik bagi anak anaknya, baik berupa kebutuhan lahir maupun batin serta segala sesuatu yang berhubungan dengan tatanan kehidupan ini.

Sejenak kemudian kesunyian terasa mencekam keberadaan mereka bertiga. Hanya suara gemericik air yang mengalir disela-sela bebatuan dan kicaun burung-burung di dahan dahan menyambut sang surya yang mulai menampakkan sinarnya menerangi jagad raya ini.

Seekor burung pemangsa ikan yang berparuh besar tampak terbang rendah berputar-putar diatas pohon Lo yang tumbuh condong hampir roboh dari seberang sungai ke seberang lainnya. Sejenak burung pemangsa ikan itu hinggap didahan yang rendah. Sambil mengawasi ikan ikan yang berenang dengan riang gembira diantara ceruk ceruk bebatuan dibawah pohon Lo, tubuhnya yang besar itu pun terayun-ayun oleh lenturnya dahan kecil yang menjadi tempatnya berpijak.

Glagah Putih menarik nafas dalam dalam, tak terasa sudah hampir enam bulan ditinggalkannya tanah Perdikan Menoreh, tentu sudah banyak perubahan-perubahan yang terjadi sepeninggal mereka berdua.

“Kakang,” kata Glagah Putih mencoba memecahkan kebekuan yang terjadi diantara mereka, “Apakah mbokayu Sekar Mirah tidak akan menemui kesulitan sehubungan dengan kepergian Kakang ke timur ini?”

“Tidak Glagah Putih, sebelum berangkat ke timur, mbokayumu telah aku titipkan untuk tinggal sementara di kediaman Ki Gede Menoreh, disana banyak perempuan pembantu ki Argapati yang dapat dijadikan teman mbokayumu dan membantu segala sesuatu apabila ada kesulitan dari mbokayumu.”

“Apakah Ki Jayaraga ikut tinggal di kediaman Ki Gede?” tanya Glagah Putih kemudian.

“Tidak Glagah Putih, Ki Jayaraga menunggui rumah kita sendirian.”

“Sendirian?” terkejut Glagah Putih bergeser setapak dari tempak duduknya, lalu dengan penuh keheranan dia pun melanjutkan,”Kemanakah anak bengal itu? Apakah dia masih sering kesungai setiap malam dan membiarkan Ki Jayaraga sendirian menunggui rumah?”

Ki Rangga Agung Sedayu tidak segera menjawab pertanyaan Glagah Putih. Dilemparkan pandangan matanya kearah pohon Lo yang tumbuh besar dan condong dari seberang sungai ke seberang lainnya. Tampak di dahan yang rendah berayun ayun seekor burung pemangsa ikan sedang mengintai mangsanya. Burung itu mencoba mengambil ancang ancang dengan merendahkan tubuhnya. Sepasang cakarnya yang kuat itu pun semakin dalam mencengkeram dahan yang dipijaknya, sementara kedua sayapnya dikembangkannya lebar lebar siap untuk memberikan kekuatan ayunan pada luncurannya untuk menukik menerkam mangsanya.

Ki Rangga Agung Sedayu menghela nafas panjang ketika kemudian dilihatnya burung pemangsa ikan itu dengan derasnya meluncur turun dari dahan yang dipijaknya untuk kemudian menerkam mangsanya, seekor ikan yang cukup besar segera saja menggelepar gelepar diantara kuku tajam burung itu. Hanya dengan sebuah ayunan kepakan sayapnya saja, burung pemangsa ikan itupun segera bertengger kembali diatas dahan yang rendah dari pohon Lo yang tumbuh menjelujur hampir melingkupi dari tepian sungai ke tepian yang lain. Dengan paruhnya yan besar dan kuat segera saja ikan itu tidak berdaya dalam kerakusan burung pemangsa ikan yang kelaparan itu.

Ketika kemudian burung pemangsa ikan itu memperdengarkan suaranya yang keras diantara kesibukannya melahap mangsanya, barulah Ki Rangga Agung Sedayu tersadar dari lamunanya bahwa dia harus manjawab pertanyaan dari Glagah Putih.

Dengan perlahan Ki Rangga Agung Sedayu pun memutar kepalanya ke arah Glagah Putih. Dilihatnya kerut-merut yang dalam dikening Glagah Putih, sedangkan Rara Wulan yang duduk di sebelahnya tampak sudah bisa menguasai dirinya. Tidak terdengar lagi isak tangisnya walaupun terlihat betapa Rara Wulan berusaha menahan gejolak di dadanya sehingga tubuhnya tampak bergetar menahan hentakan hentakan yang masih tersisa di dalam hatinya.

“Glagah Putih dan kau juga Rara,” perlahan Ki Rangga Agung Sedayu menjawab pertanyaan Glagah Putih, “Sepeninggal kalian berdua, banyak peristiwa yang terjadi dan semua itu diluar kuasa kita sebagai manusia. Tidak ada seorang pun yang bisa mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi dengan dirinya dan keadaan di sekelilingnya. Semua itu adalah kuasa yang Maha Agung. Kita hanya wajib berusaha, sedangkan apa yang terjadi kemudian adalah wajib bagi kita untuk meyakininya, bahwa dibalik semua peristiwa itu pasti ada sesuatu yang tersembunyi yang menjadi rencana dari Yang Maha Agung.”

Glagah putih dan Rara Wulan termangu mangu, mereka mencoba menebak arah pembicaraan dari Ki Rangga Agung Sedayu, walaupun seperti yasng terdahulu, mereka masih belum mengetahui kemana sebenarnya arah pembicaraan itu.

“Ketahuilah oleh kalian berdua, bahwa sepeninggal kalian berdua mengemban tugas dari Mataram untuk melawat ke timur, di suatu senja sepulang dari barak pasukan khusus, Sukra telah menemui aku di dekat kandang kuda. Kelihatannya dia sudah bersiap siap untuk berangkat turun ke sungai malam itu menilik dari peralatan yang telah di bawanya. Aku benar benar tidak menduga bahwa keberadaanya di dekat kandang kuda itu justru karena suatu persoalan yang akan di sampaikannya kepadaku.”

Demikianlah yang sebenarnya telah terjadi pada waktu itu, Ki Rangga Agung Sedayu yang baru saja pulang dari barak pasukan khusus telah menjumpai Sukra sedang berdiri termangu mangu disamping kandang kuda.

Tidak ada kecurigaan apapun terhadap Sukra ketika Ki Rangga Agung Sedayu yang telah selesai mengandangkan kudanya kemudian melangkah keluar menuju pakiwan. Ki Rangga Agung Sedayu hanya melempar senyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ketika dia lewat beberapa langkah didepan Sukra yang masih saja berdiri termangu mangu disamping kandang kuda.

Namun dada Ki Rangga Agung Sedayu terasa berdesir sekejap justru ketika dia melangkah keluar dari pakiwan dilihatnya Sukra masih tetap berdiri termangu mangu di samping kandang kuda. Matanya tak pernah lepas mengawasi setiap gerak dan langkah dari Ki Rangga Agung Sedayu.

“Ada apa Sukra?” justru Ki Rangga Agung Sedayu lah yang mendahului menyapanya ketika dia sudah berada beberapa langkah saja didepan Sukra yang masih berdiri mematung.

“O..tidak ada apa apa Ki Sedayu,” tergagap Sukra menjawab, namun Ki Rangga Agung Sedayu melihat sepercik keragu-raguan didalam sorot mata anak muda itu.

Sambil mengangguk anggukan kepalanya Ki Rangga Agung Sedayu pun kemudian tersenyum, lalu katanya sambil melanjutkan langkahnya menuju dapur, “Hari masih terlalu sore, apakah engkau akan turun ke sungai? Bisanya menjelang sirep bocah orang orang yang akan memasang rumpon itu baru akan turun ke sungai, kemudian menjelang dini hari mereka akan turun kembali untuk melihat hasilnya.”

“Tetapi kadang-kadang ada orang yang memasang rumpon sampai dua kali semalam, untuk mendapatkan ikan yang lebih banyak, tentu saja.” sahut Sukra sambil mengikuti langkah Ki Rangga Agung Sedayu menuju dapur.

“He..,” seru Ki Rangga Agung Sedayu, “ Jadi itukah maksudnya mengapa engkau mau turun ke sungai padahal hari baru akan menjelang sore?”

“Kakang..” tiba tiba terdengar suara Sekar Mirah dari dalam dapur, “Apakah kakang berbicara dengan Sukra? Tolong suruh anak itu untuk membeli minyak klentik di kedai Nyai Imah, aku akan menggoreng ikan wader untuk lauk makan malam kita nanti.”

Langkah Ki Rangga Agung Sedayu pun terhenti sejenak, sambil berpaling ke arah Sukra dia berkata, “Kau dengar perintah Nyi Sekar Mirah?”

Sukra menganggukkan kepalanya dalam dalam, namun kemudian hampir tak terdengar dia berdesis perlahan lahan kepada Ki Rangga Agung Sedayu, “Tetapi aku mempunyai sebuah persoalan yang ingin kusampaikan hanya kepada Ki Sedayu.”

Ki Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya dalam dalam, dipandanginya Sukra dengan tajamnya, seolah olah baru kali ini dia bertemu dengan anak muda itu.

Sukra yang merasa dirinya dipandang dengan tajam oleh Ki Rangga Agung Sadayu menjadi salah tingkah, dicobanya untuk menenangkan gejolak perasaannya namun tidak sepenuhnya berhasil sehingga tubuhnya ternyata telah menjadi gemetar.

“Sukra..,” kembali terdengar suara Sekar Mirah memanggil dari dalam dapur yang kali ini ditujukan kepada Sukra, “Segeralah berangkat sebelum hari benar benar gelap, nanti keburu kedai Nyai Imah tutup.”

Sukra menarik nafas dalam-dalam, sekilas dipandangnya Ki Rangga Agung Sedayu, namun yang sekilas itu sudah cukup bagi Ki Rangga Agung Sedayu untuk mengetahui isi hati anak muda itu.

“Berangkatlah,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian, “Kita dapat membicarakan persoalanmu itu nanti setelah selesai makan malam. “
Sukra hanya dapat menundukkan kepalanya dalam dalam, sambil melangkah menuju dapur untuk menerima uang dari Sekar Mirah dia berdesis perlahan, “Terima kasih Ki Sedayu.”

Ki Rangga Agung Sedayu tidak menjawab. Dipandanginya saja langkah kaki Sukra menuju dapur. Anak muda itu telah memberikan kesan tersendiri baginya. Diusianya yang masih sangat muda, dia sudah berani turun ke sungai sendiri di malam malam yang gelap dan dingin. Seolah tidak pernah dihiraukannya cerita tentang segala macam hantu, genderuwo, jerangkong, ilu ilu banaspati dan sebangsanya. Di usia yang sama, dirinya tidak lebih dari seorang anak muda penakut yang selalu berlindung di balik punggung ibunya.

Sejenak kemudian, setelah meletakkan terlebih dahulu segala peralatan untuk memasang rumpon disamping kiri pintu dapur sebelah luar, Sukra pun melangkah masuk kedalam dapur. Sementara itu Ki Rangga Agung Sedayu pun melanjutkan langkahnya menuju longkangan disamping kanan dapur yang mengarah ke pintu butulan di ruang tengah.

Dalam pada itu, Glagah Putih yang memperhatikan dengan seksama cerita Ki Rangga Agung Sedayu itu pun menjadi berdebar debar, katanya kemudian, “Apakah Sukra terlibat pertengkaran lagi dengan anak anak muda dari padukuhan sebelah?”

“Ah.., tidak,” jawab Ki Rangga Agung Sedayu, “Bukankah peristiwa itu sudah berlalu cukup lama? Jarang anak anak muda sebaya Sukra yang masih menekuni rumpon dan sejenisnya. Biasanya begitu beranjak ke usia dewasa mereka segera mengalihkan perhatiannya pada hal hal yang lebih menarik sesuai dengan usia mereka.”

“Jadi.., sebenarnya, persoalan apakah yang sedang dialami Sukra?” bertanya Glagah Putih kemudian setelah dia merasa tidak mampu menduga kejadian sebenarnya yang dialami oleh Sukra.

Ki Rangga Agung Sedayu tersenyum melihat kegelisahan Glagah Putih, sementara Rara Wulan yang tidak banyak bergaul dengan Sukra ketika dia tinggal di rumah Ki Rangga Agung Sedayu untuk belajar olah kanuragan dari Sekar Mirah hanya berdiam diri saja. Baginya lebih baik menjadi pendengar saja sebelum semua persoalan menjadi jelas.

“Glagah Putih,” bertanya Ki Rangga Agung Sedayu kemudian, “Apakah engkau pernah memberikan dasar dasar latihan olah kanuragan dengan sungguh sungguh kepada Sukra?”

“Ya Kakang, tapi itu tidak lebih dari selangkah dua langkah untuk sekedar memberikan bekal menghadapi kenakalan anak anak muda padukuhan sebelah.”

“Jadi, engkau tidak dengan sungguh sungguh mengajarinya olah kanuragan?”

“Tidak Kakang, menurut pendapatku keinginan Sukra itu hanya keinginan sesaat ketika dia merasa tidak berdaya oleh polah tingkah anak anak muda yang mengganggunya. Selebihnya aku belum siap memberikan latihan olah kanuragan dalam arti yang sebenarnya karena sebagaimana Kakang telah mengajariku olah kanuragan, tidak hanya tuntunan lahir saja yang Kakang berikan kepadaku, namun tuntunan batin itulah yang sangat penting agar apa yang telah dipelajari oleh seseorang itu tidak menjadikan dirinya kehilangan kendali atas pengamatan kemampuan dirinya.”

Ki Rangga Agung Sedayu dan Rara Wulan yang hanya jadi pendengar itu pun ikut mengangguk anggukkan kepalanya. Sebenarnyalah Glagah Putih yang memiliki kemampuan ilmu kanuragan tinggi itu tidak akan menemui kesulitan yang berarti dalam memberikan bimbingan kepada Sukra, namun tuntunan batin yang justru mempunyai peran sangat penting dalam setiap pencurahan ilmu kanuragan dari seorang guru kepada muridnya itulah yang belum begitu dikuasai oleh Glagah Putih sejalan dengan usianya yang masih muda.

“Baiklah,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu sambil menggeser duduknya beberapa jengkal ke arah teduhnya bayangan dedaunan untuk menghindari sinar matahari yang mulai terasa menggatalkan kulit, “Aku memang pernah melihat sekilas apa yang pernah kalian berdua lakukan, aku pun tidak keberatan waktu itu untuk mengijinkanmu memberi tuntunan kepada Sukra selangkah dua langkah dalam olah kanuragan. Namun persoalannya menjadi lain ketika sore itu, setelah selesai makan malam, Sukra benar benar menghadapku di ruang tengah, semula dia ragu ragu mengutarakan maksudnya ketika dilihatnya mbokayumu Sekar Mirah ikut duduk duduk mengawani aku. Sedangkan Ki Jayaraga sejak sore sudah pergi ke rumah Ki Gede untuk menemani Ki gede mengisi waktu bermain mul mulan atau sekedar berbincang bincang yang tak berujung pangkal.”

“Apakah Sukra meminta Kakang untuk memberinya tuntunan olah kanuragan?” bertanya Glagah Putih setelah mengetahui dengan pasti kearah mana pembicaraan Ki Rangga Agung Sedayu.

“Benar Glagah Putih,” sahut Ki Rangga Agung Sedayu, “Bahkan lebih dari itu, Sukra memintaku untuk mengambilnya sebagai murid.”

“Murid,” desis Glagah Putih dan Rara Wulan hampir bersamaan sambil berpandangan.

Mereka tidak mengira bahwa Sukra akan melangkah sejauh itu dalam menekuni olah kanuragan. Dugaan Glagah Putih bahwa keinginan Sukra untuk mendalami olah kanuragan hanyalah keinginan sesaat ternyata tidak berdasar sama sekali, bahkan kini Sukra dengan memberanikan diri telah meminta Ki Rangga Agung Sedayu untuk mengambilnya sebagai seorang murid.

“Sukra..” tiba tiba tanpa disadarinya Glagah Putih bergumam perlahan, “Apakah sebenarnya yang engkau cari?”

Ki Rangga Agung Sedayu tersenyum mendengar desis dari Glagah Putih, kemudian masih dengan tersenyum dia pun berkata, “Pertanyaan yang sama telah diajukan pula oleh mBokayumu Sekar Mirah, dan apakah kalian dapat menduga, apa jawaban dari Sukra?”

Keduanya menggeleng lemah sambil menunggu jawaban dari Ki Rangga Agung Sedayu dengan hati yang berdebar debar.

“Selama ini kita memang kurang memperhatikan Sukra. Kita mengganggap dia tidak lebih dari kanak kanak yang sedang menjelang remaja. Keberadaannya di rumah kita untuk membantu pekerjaan Mbokayumu seperti menyapu halaman, mengisi jambangan di pakiwan dan sesekali membelah kayu bakar adalah pekerjaan sehari hari yang wajar dikerjakan oleh anak seusianya. Selain itu dia juga mempunyai kegemaran menelusuri sungai hampir setiap malam yang kadang-kadang melibatkan kehadiranmu, Glagah Putih.”

Sampai disini Ki Rangga Agung Sedayu terdiam sejenak. Suara angin yang menelusup disela sela dedaunan dari serumpun pohon bambu yang tumbuh rimbun disisi kiri tebing sungai menimbulkan gemerisik yang berkepanjangan. Sementara itu, dengan memperdengarkan suaranya yang keras, burung pemangsa ikan yang bertengger di dahan yang rendah dari pohon Lo dan telah selesai menyantap mangsanya itu pun mengepakkan sayapnya untuk kemudian terbang menjauh. Sedangkan nun jauh di ujung sungai yang berkelok kelok, terdengar bunyi sepasang burung tekukur yang bersahut sahutan bagaikan sepasang kekasih yang sedang mendendangkan tembang asmarandana.

Ki Rangga Agung Sedayu berdesah perlahan. Dipandanginya kedua anak muda yang sedang duduk dihadapannya. Mereka berdua masih terhitung sangat muda namun telah memiliki kemampuan olah kanuragan yang pantas diperhitungkan dan disejajarkan dengan orang orang yang memang telah menekuni olah kanuragan sejak lama. Dan agaknya itulah salah satu kelebihan yang dimiliki oleh Glagah Putih dan ternyata telah dipermasalahkan oleh Sukra.

“Pada awalnya, Sukra mempunyai anggapan bahwa kemampuanmu dalam olah kanuragan tidak banyak terpaut oleh kemampuan anak anak muda di Tanah Perdikan Menoreh yang sebaya denganmu, namun ketika hampir seluruh anak anak muda telah membicarakanmu, bahkan dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh pun mengakui kemampuanmu setelah terjadi beberapa kali pertempuran yang melibatkan dirimu, berita itu pun telah sampai juga ke telinga Sukra dengan berbagai tanggapan didalam dirinya. Dia merasa dirinya terlalu kecil hidup diantara para raksasa olah kanuragan yang tinggal di rumah kita, setidaknya itulah anggapannya, bahkan teman teman sepermainannya pun menganggap bahwa Sukra paling tidak memiliki kelebihan yang pantas dibanggakan diantara teman sebayanya karena sehari hari dia bergaul dengan orang orang yang bergelut dengan olah kanuragan, namun kenyataannya dia tidak mempunyai sesuatu yang dapat dibanggakan dan ditunjukkan kepada teman temannya. Mungkin itulah salah satu unsur yang mendorong keinginannya untuk mempelajari olah kanuragan darimu, Glagah Putih.”

Glagah Putih termenung, seolah terbayang kembali dalam ingatannya, bagaimana Sukra selalu mendesaknya untuk melatih olah kanuragan, dan anak itu seolah tidak ada puasnya, selalu menuntut sesuatu yang baru setiap kali mereka bertemu.

“Kakang,” berkata Glagah Putih kemudian setelah sejenak mereka bertiga berdiam diri, “Apakah Kakang mengabulkan permohonan Sukra untuk menjadi murid kakang?”

“Tidak secara keseluruhan Glagah Putih, hubungan antara seorang Guru dan murid adalah hubungan yang rumit dan penuh tanggung jawab, tidak sebagaimana hubungan kita berdua yang tetap sebagai saudara sepupu walaupun engkau belajar olah kanuragan dariku, itulah sebabnya aku menolak engkau memanggilku Guru, dengan demikian aku tidak ingin mempersempit wawasanmu dalam olah kanuragan karena dengan menjadikanmu seorang muridku, segala sesuatu yang berhubungan dengan perkembangan ilmumu harus seijin dan sepengetahuanku.” Ki Rangga Agung Sedayu berhenti sejenak lalu, “Karena pertimbangan itulah, aku hanya benjanji kepada Sukra untuk memberikan latihan olah kanuragan padanya setiap hari.”

“Apakah Sukra menerimanya, Kakang?”

“Pada awalnya dia keberatan, tetapi setelah Mbokayumu Sekar Mirahpun ikut memberi penjelasan dan pengertian tentang beratnya tanggung jawab hubungan antara Guru dan Murid, pada akhirnya Sukra pun mau menerimanya, namun dia mempunyai satu tuntutan yang hampir tidak masuk akal?”

“Apakah itu Kakang?”

“Dia memintaku untuk melatihnya dengan bersungguh sungguh sehingga dalam waktu dekat bisa menyamai kemampuanmu.”

“He..!” hampir berbareng Glagah Putih dan Rara Wulan berseru saking terkejutnya dengan permintaan Sukra itu.

“Memang aneh kedengarannya,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian, “Ternyata dia secara diam diam telah memendam dendam kepadamu Glagah Putih, ketidak sungguhanmu dalam memberikan latihan olah kanuragan telah disalah artikan oleh Sukra sebagi usaha darimu agar kemampuannya tidak akan melampui kemampuanmu. Itulah sebenarnya yang selama ini menjadi beban pikirannya, bahkan dalam hal lain pun dia ingin bersaing denganmu, menjadi seorang prajurit dan mendapatkan istri dari keturunan bangsawan yang cantik.”

“Ah..” seleret warna merah segera saja membayang di pipi Rara Wulan, sedangkan Glagah Putih yang duduk disebelahnya tidak dapat menahan tertawanya lagi. Kalau saja tidak ada sebuah cubitan yang keras di lambungnya, niscaya Glagah Putih akan tetap meneruskan tertawanya berkepanjangan.

“Aduh..sakit Wulan, tolong lepaskan..” mohon Glagah Putih sambil berusaha melepaskan cubitan Rara Wulan di lambungnya.

“Tidak,” sergah Rara Wulan, “Sebelum engkau jelaskan, apa yang membuatmu tertawa.”

“Aduh..sungguh tidak ada apa apa Wulan.”

“Tetapi mengapa engkau tertawa? Apakah ada yang lucu dari keterangan Kakang Agung Sedayu?”

“Tidak ada.”

“Jadi? Untuk apa engkau tertawa seperti orang mabok tuak?”

Sejenak Glagah Putih menjadi kebingungan, ketika tanpa disadarinya dia memandang wajah kakak sepupunya yang tersenyum kearahnya, tiba tiba saja Glagah Putih itu pun ikut tersenyum.

Melihat dua orang laki laki itu saling melemparkan senyum, Rara Wulan pun tidak dapat menahan hatinya lagi, segera saja dengan penuh kekuatan didorongnya tubuh Glagah Putih yang sedang duduk diatas sebuah batu besar disampingnya itu sehingga meluncur jatuh ke sungai.

Glagah Putih yang tidak menduga sama sekali bahwa Rara Wulan akan berbuat sejauh itu benar benar tidak bisa menghindar ketika akhirnya tubuhnya pun jatuh ke air dan menjadi basah kuyup.

Sekarang Rara Wulan lah yang tertawa geli, ketika dilihatnya Glagah Putih yang basah kuyup dengan bersungut sungut mencari batu yang lain yang berseberangan dengan Rara Wulan untuk tempat duduk.

Ki Rangga Agung Sedayu hanya dapat tersenyum simpul menyaksikan polah tingkah pasangan muda itu. Teringat olehnya pada saat saat awal perjumpaannya dengan Sekar Mirah, segala sesuatunya begitu indah, namun ketika hubungan mereka sudah menuju ke arah yang sungguh sungguh, betapa Ki Rangga Agung Sedayu waktu itu selalu diliputi oleh kegelisahan setiap kali Sekar Mirah selalu mendesaknya untuk segera mengambil keputusan sehubungan dengan masa depan mereka berdua.

“Sudahlah,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu mencoba mengalihkan perhatian, “Sejak saat itu, setiap sore menjelang malam, aku selalu meluangkan waktu untuk melatih Sukra di Sanggar. Dan anehnya, anak itu tidak bosan bosannya turun ke sungai setiap malam, walau kadang latihan yang kami lakukan sampai menjelang tengah malam.”

“Anak itu seolah olah tidak terpisahkan dengan sungai, semalam saja dia tidak turun ke sungai, rasa-rasanya baginya sudah berbulan bulan tidak melihat sungai,” sahut Glagah Putih sambil melepas bajunya yang basah, kemudian setelah diperasnya, bajunya itu pun dipakainya kembali. Sekilas sempat dilihatnya Rara Wulan menatap kearahnya dengan penuh penyesalan.

“Tetapi ada satu hal yang membuatku heran,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian, “Ternyata Sukra masih saja menganggapku kurang bersungguh sungguh dalam memberikan latihan dimalam hari saja, dia menganggap perkembangan ilmunya terlalu lambat, sehingga dia memintaku untuk memberikan latihan juga di siang hari, tentu saja hal ini tidak mungkin. Bukankah aku harus pergi ke barak pasukan khusus setiap hari? Akhirnya kesepakatan pun diambil, setiap pagi aku meninggalkan catatan berupa gambar gambar dari gerak dan langkah kanuragan di selembar daun lontar atau kadang pelepah pinang yang dapat dijadikan dia sebagai pedoman untuk latihan di siang hari, kemudian di malam harinya aku tinggal menyempurnakan gerakan gerakan yang telah dilatihnya di siang hari itu.”

“Dari jalur perguruan manakah Kakang melatih Sukra?”

“Dari jalur perguruan orang bercambuk. Aku sengaja tidak memberinya tuntunan dari jalur perguruan Ki Sadewa, karena pada dasarnya jalur perguruan Ki Sadewa adalah perguruan keluarga, sehingga untuk menurunkan ilmu dari jalur itu, aku harus meminta pertimbangan dari para pewaris ilmu Ki Sadewa yang lain.”

Sampai disini tiba tiba wajah Ki Rangga Agung Sedayu menjadi buram, kerut merut didahinya pun semakin dalam. Beberapa lembar rambutnya yang sudah mulai berubah warna tampak berjuntai disela sela ikat kepalanya.

Sambil menghela nafas panjang, Ki Rangga Agung Sedayu pun melanjutkan ceritanya, “Kita sebagai manusia tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi, semua itu telah menjadi garis ketentuan dari Yang Maha Kuasa. Demikian juga ketika disuatu senja, sepulangku dari Mataram karena dipanggil oleh Ki Patih Mandaraka untuk mendapat tugas menyusul kalian berdua ke timur, aku mendapatkan papan dinding bilikku yang sebelah dalam telah bergeser terbuka sejengkal, sekilas memang tidak kelihatan, bahkan Mbokayumu Sekar Mirah pun tidak melihat keganjilan itu, karena memang aku sengaja membuat dinding rangkap dari papan yang menyekat bilik kami dengan bilik sebelah.”

Dengan berdebar debar, Glagah Putih dan Rara Wulan menatap wajah Ki Rangga Agung Sedayu, betapa wajah itu kelihatan sangat lelah, entah beban pikiran apa yang telah membuatnya demikian.

“Siapakah orang yang telah berbuat demikian, Kakang? Dan apakah yang dicarinya?” bergetar suara Glagah Putih menahan gejolak perasaannya.

“Sesuatu yang seharusnya aku jaga dengan taruhan nyawa ternyata telah hilang dari tempat penyimpanannya, ruang diantara papan rangkap penyekat dinding bilikku.”

“Apakah itu Kakang?” kembali Glagah Putih bertanya dengan penuh ketegangan.

“Kitab peninggalan Guru, kitab perguruan Empu Windujati.”

Kalau seandainya ada halilintar yang menyambar di saat itu di tempat dimana mereka bertiga berada, guncangannya mungkin tidak akan sedahsyat dengan apa yang telah didengar oleh Glagah Putih dan Rara Wulan dari keterangan Ki Rangga Agung Sedayu.

Serentak mereka berdua memandang ke arah wajah Ki Rangga Agung Sedayu dengan wajah penuh ketegangan dan dada yang bergejolak, sambil mengepalkan tangannya Glagah Putih pun berseru keras, “Kakang, katakan siapa yang mencuri kitab peninggalan Kiai Gringsing, aku sanggup melumatkan tubuhnya!”

“Ya, Kakang,” Rara Wulan pun tak kalah sigapnya dengan Glagah Putih, “Tidak perlu Kakang Agung Sedayu sendiri yang turun tangan, serahkan kepada kami berdua untuk mengatasi permasalahan ini.”

Ki Rangga Agung Sedayu termangu mangu sejenak, kemudian katanya, “Kalian berdua tenanglah, permasalahan ini tidak bisa diselesaikan dengan tergesa gesa, aku belum bisa menduga siapakah yang telah mengambil kitab peninggalan guru tanpa sepengetahuanku, namun dugaan yang kuat mengarah ke diri Sukra, karena sejak aku datang dari Mataram sore itu, aku tidak pernah melihatnya kembali, bahkan ketika kucoba melongok ke biliknya, bilik itu telah kosong, tidak ada selembar pakaian ataupun barang-barangnya yang tertinggal.”

“Kapankah terakhir Kakang atau Mbokayu melihat keberadaan Sukra?” tanya Glagah Putih, kekawatiran yang sangat tampak di wajahnya, justru karena dia menyadari betapa Sukra sangat mendendam atas dirinya sehubungan dengan anggapannya bahwa Glagah Putih tidak ingin melihat perkembangan yang terjadi atas dirinya serta kelebihan kelebihan yang mungkin akan dapat dicapainya.

“Aku melihat Sukra terakhir kalinya saat aku berangkat ke Mataram memenuhi panggilan Ki Patih Mandaraka, sedangkan Mbokayumu terakhir menjumpai Sukra dipagi hari berikutnya saat Mbokayumu akan pergi ke pasar. Saat itu Sukra sedang membelah kayu bakar di halaman belakang, sedangkan Ki Jayaraga sejak pagi-pagi sekali sudah berangkat ke sawah.”

“Apakah Kakang bermalam di Mataram?” Rara Wulan lah yang kini ganti bertanya.

“Aku memang tidak bisa menolak tawaran Ki Patih Mandaraka untuk bermalam di istana kepatihan waktu itu, karena memang Ki Patih baru akan membicarakan kepentingannya memanggilku menghadap justru setelah makan malam.”

Memang sudah menjadi kebiasaan Ki Patih Mandaraka untuk tidak dengan tergesa gesa menyampaikan maksudnya apabila memanggil Ki Rangga Agung Sedayu menghadap ke istana kepatihan, justru karena Ki Patih mengetahui hubungan persahabatan antara Panembahan Senapati di masa mudanya dengan seorang anak muda dari Jati Anom yang bernama Agung Sedayu.

“Bermalamlah disini,” demikian permintaan Ki Patih Mandaraka waktu Ki Rangga Agung Sedayu diterima menghadap, “Matahari telah condong ke barat dan agaknya engkau perlu beristirahat barang sejenak, nanti malam kita akan berbicara sepuas-puasnya untuk membahas segala permasalahan yang timbul baik di lingkungan istana Mataram ini maupun yang terjadi diluar lingkup istana.”

“Terima kasih, Ki Patih. Aku mengartikan penawaran Ki Patih ini sebagai perintah, maka bagiku tidak ada kuasa apapun untuk menolaknya,” jawab Ki Rangga Agung Sedayu sambil tersenyum.

“Ah,” desah Ki Patih sambil tertawa kecil, “Kadang aku yang tua ini masih digelitik oleh kenangan masa-masa muda, kehidupan yang bebas sebebas-bebasnya. Berpetualang dari satu tempat ke tempat lainnya. Menyusuri lembah, menyusup ke hutan-hutan yang lebat sekalipun dan kadang-kadang tak jarang menjumpai padukuhan-padukuan yang terpencil tetapi terasa betapa sangat damainya hidup bergaul diantara mereka, petani-petani yang lugu dan polos tanpa ada rasa kecurigaan diantara sesama. Berbeda jauh dengan lingkungan yang kualami sekarang ini, penuh dengan gebyar dan gemerlap keindahan dunia namun penuh rasa iri dengki, curiga dan kepalsuan hubungan diantara sesama.”

Sampai disini Ki Patih terdiam, pandangan matanya menatap kearah pucuk pucuk pepohonan yang tumbuh di halaman samping istana kepatihan. Daun-daunnya yang bersemu kemerah merahan tertimpa sinar matahari sore tampak berayun ayun lembut tertiup oleh angin senja.

Demikianlah malam itu, setelah Ki Rangga Agung Sedayu selesai dijamu makan malam bersama Ki Patih Mandaraka, mereka pun kemudian duduk duduk di ruang tengah istana kepatihan.

Sejenak kemudian, setelah mereka berbicara tentang hal hal yang ringan, tentang jalur perjalanan antara Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang semakin ramai, tentang penyeberangan di kali Praga yang semakin sibuk akan tetapi bertambah aman dengan hadirnya para prajurit yang meronda di sekitar daerah itu, barulah kemudian Ki Patih mengutarakan maksudnya untuk memanggil Ki Rangga Agung Sedayu menghadap ke istana kepatihan.

“Ki Rangga, “ berkata Ki Patih, “Ada perkembangan baru yang terjadi di padepokan orang yang menyebut dirinya pangeran Ranapati itu. Beberapa telik sandi Mataram telah berhasil mendekati padepokan itu pada jarak yang sangat dekat tetapi masih dalam batas perhitungan keselamatan mereka. Hal itu dilakukan karena mereka melihat ada kesibukan yang meningkat di dalam padepokan itu dibandingkan dengan hari hari biasanya.”

“Apakah kesibukan itu berhubungan dengan ketegangan hubungan antara Mataram dengan Panaraga akhir akhir ini?” bertanya Ki Rangga Agung Sedayu.

“Tidak secara langsung, tetapi ternyata kesibukan padepokan itu karena mereka telah menerima seorang tamu?”

“Seorang tamu?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya, seorang tamu yang sangat dihormati oleh penghuni padepokan itu karena dia adalah guru dari orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati.”

Tiba tiba saja dada Ki Rangga Agung Sedayu berdesir tajam, jika orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu disebut-sebut mempunyai kesaktian yang tiada taranya, bagaimanakah dengan gurunya?

Agaknya Ki Patih Mandaraka dapat membaca jalan pikiran Ki Rangga Agung Sedayu, maka katanya kemudian, “Tidak ada orang yang sempurna didunia ini, demikian juga dengan Ki Singa Wana Sepuh, guru orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu.”

Ki Rangga Agung Sedayu pun menarik nafas dalam dalam sambil mengangguk anggukan kepalanya, seakan bergumam kepada dirinya sendiri, diapun berdesis perlahan, “Hanya Yang Maha Agung yang memiliki kesempurnaan, tidak sepantasnyalah manusia menyombongkan dirinya dengan sedikit kemampuan yang dimilikinya, sesungguhnya hanya kepadaNya kita berserah diri.”

Sekarang Ki Patih Mandaraka lah yang mengangguk anggukan kepalanya, sambil berkata, “Untuk itulah aku telah membuat pertimbangan dengan memanggilmu menghadap ke kepatihan ini. Susullah Glagah Putih ke timur, karena berita selanjutnya dari para telik sandi mengatakan bahwa Ki Singa Wana Sepuh itu telah pergi ke timur pula, setelah tahu bahwa muridnya kini berada di Panaraga.”

Sejenak kemudian suasana pun dicengkam oleh kesunyian. Angin malam yang bertiup cukup keras telah membuat atap istana kepatihan berbunyi berderak derak. Sedangkan beberapa helai dedaunan dari pepohonan yang tumbuh di halaman istana kepatihanpun jatuh berguguran dan berserakan dihalaman yang luas. Dua orang prajurit pengawal kepatihan yang menjaga pintu gerbang tampak mendongakkan kepalanya, mengamati mendung yang semakin tebal menghiasi langit. Agaknya hujan benar-benar akan turun malam itu.

“Ki Patih,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu sambil menghaturkan sembah, “Sebelum aku berangkat menunaikan tugas ke timur, perkenankanlah aku mengajukan sebuah pertanyaan agar tidak ada keraguan sama sekali untuk mengemban tugas yang berat ini.”

“Pertanyaan apakah Ki Rangga?”

Sambil membetulkan letak duduknya serta menarik nafas dalam dalam terlebih dahulu, Ki Rangga Agung Sedayu pun menjawab pertanyaan Ki Patih, “Mohon ampun Ki Patih, telah beredar luas dikalangan para Perwira bahkan sampai Prajurit pada tataran yang terendah sekalipun, sebuah cerita tentang Pangeran Umbaran yang diperintah oleh Panembahan Senopati untuk menyarungkan kerisnya pada sebuah kayu cendana pelet putih.”

Ki Patih Mandaraka sejenak termangu mangu, kemudian jawabnya, “Apakah cerita itu dihubungkan dengan seseorang yang mengaku putra Panembahan Senopati yang bergelar Pangeran Ranapati?”

“Ya, Ki Patih. Menurut cerita yang aku dengar dari mulut ke mulut, pangeran Ranapati memang telah terusir dari istana semenjak beliau masih kecil. Dan masih menurut cerita itu pula, Pangeran Umbaran yang ditugasi oleh Panembahan Senopati untuk menyarungkan kerisnya pada sebuah kayu cendana pelet putih itu tidak sampai hati untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada dirinya yang sesungguhnya yaitu melenyapkan ibu dan anaknya yang sekarang telah tumbuh menjadi orang yang pilih tanding dan bergelar Pangeran Ranapati.”

Ki Patih memandang tajam ke arah Ki Rangga Agung Sedayu seakan akan ingin menjenguk apa yang terkandung di dalam hatinya, namun akhirnya Ki Patih pun berkata, “Ki Rangga Agung Sedayu, bagaimanakah menurut pendapatmu tentang cerita ngaya wara yang sekarang sedang berkembang di tengah tengah kehidupan kawula Mataram ini?”

Ki Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya, sejenak dia memandang wajah Ki Patih seolah olah ingin menjajaki apakah sebenarnya yang sedang dipikirkan oleh Ki Patih.

“Ampun Ki Patih, aku tidak bisa menarik kesimpulan tentang kebenaran dari cerita yang sedang berkembang dan diperbincangkan oleh hampir setiap kawula Mataram. Namun satu hal yang dapat aku simpulkan, cerita ini pasti ada sumber yang menyebarkannya dan mempunyai tujuan tertentu.”

“Menurutku memang benar demikian, ada seseorang ataupun mungkin bahkan sekelompok orang yang mempunyai ikatan tertentu telah mencoba mengguncang sendi sendi kehidupan kawula Mataram dengan menghembuskan cerita yang ngaya wara untuk kepentingan mereka sendiri.”

“Dan yang pasti cerita ini sebagai dalih untuk menarik perhatian para kawula Mataram sehingga mereka merasa trenyuh dengan kisah hidup orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati.” Kembali Ki rangga Agung Sedayu menambahkan.

“Ya,” jawab Ki Patih, “Sehingga jalan untuk menuju istana bagi orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu pun akan terbentang lebar.”

Sejenak keduanya pun terdiam. Masing masing terhanyut oleh angan angan tentang orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati. Tidak menutup kemungkinan bahwa peristiwa demi peristiwa itu saling berkait, ada sekelompok orang yang dengan sengaja menyebarkan cerita tentang kayu cendana pelet putih itu justru untuk menarik perhatian dan rasa belas kasihan dari kawula Mataram sejalan dengan kemunculan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati.

Dalam pada itu, diluar istana kepatihan hujan telah turun bagaikan ditumpahkan dari langit. Sesekali petir bersabung di udara, sejenak malam yang gelap gulita itupun terang benderang dalam sekejab, kemudian disusul dengan bunyi gemuruh yang memekakkan telinga.

Dua orang Prajurit penjaga regol kepatihan tampak berteduh di emper gardu penjagaan disebelah kanan regol, sedangkan pintu regol kepatihan dibiarkan saja dalam keadaan terbuka.

Sementara itu dari dalam gardu penjagaan tiba tiba keluar seorang perwira separo baya yang bertugas memimpin penjagaan di istana kepatihan malam itu. Dibelakangnya seorang perwira yang masih cukup muda mengikutinya. Agaknya perwira yang masih cukup muda itu adalah perwira pendamping bagi perwira separo baya itu.

Perwira separo baya itu pun mengerutkan keningnya ketika melihat dua orang prajurit penjaga regol istana kepatihan justru berteduh di emper gardu penjagaan, sedangkan regol istana kepatihan dibiarkannya dalam keadaan terbuka.

Segera saja kedua prajurit penjaga regol kepatihan itu membungkuk hormat ketika perwira separo baya itu menghampiri mereka. Namun langkah perwira separo baya itu tertahan sejenak ketika tanpa disadarinya sudut pandang matanya menangkap sesuatu yang mencurigakan. Sebuah bayangan yang seakan akan jatuh begitu saja dari dahan terendah pohon sawo kecik yang tumbuh hampir merapat dinding istana kepatihan sebelah utara. Bayangan itu meluncur turun bagaikan selembar daun kering yang runtuh dari tangkainya.

Dengan sebuah isyarat, perwira separo baya itu memanggil perwira pendampingnya yang masih saja berdiri termangu mangu di depan pintu gardu penjagaan.

“Ikut aku,” bisik perwira separo baya itu sambil menggamit lengan perwira pendampingnya ketika dia sudah berdiri disampingnya.

“Kemana Ki Lurah,” dengan ragu ragu perwira pendampingnya bertanya.

“Meronda dinding sebelah utara, dekat pohon sawo kecik itu.” Jawab perwira separo baya itu sambil menunjuk pohon sawo kecik yang tumbuh hampir merapat dinding istana kepatihan sebelah utara. Dalam kegelapan malam, tampak pohon sawo kecik itu bagaikan raksasa yang berambut gimbal sedang berdiri menjulang.

“Hujan hujan begini?”

“Ya, apa masalahnya?”

“Bukan maksudku menolak tugas Ki Lurah,” berkata perwira pendampingnya, “Namun apakah kepentingannya hujan hujan begini meronda dinding sebelah utara kepatihan? Disamping itu bukankah para prajurit dapat melakukannya?”

“Para prajurit biasa justru akan menjadi banten sebelum mereka menyadari apa yang telah terjadi. Sebaiknya kitalah yang mencoba mengamati keadaan. Aku melihat sesuatu yang meluncur turun dari cabang pohon sawo kecik itu. Menilik ujudnya seperti seseorang yang meloncat turun dari pohon itu. Marilah kita mencoba mendekatinya tanpa menarik perhatian. Semoga orang itu belum bergeser dari tempatnya.”

Selesai berkata demikian, perwira separo baya itu segera bergeser ke sudut gardu penjagaan yang gelap untuk kemudian melangkah keluar dari gardu penjagaan menembus hujan yang turun dengan lebatnya diikuti oleh perwira pendampingnya. Dengan merunduk-runduk diantara tanaman tanaman perdu dan gerumbul gerumbul bunga, keduanya berusaha mendekati pohon sawo kecik itu.

Ketika petir menyambar disertai dengan bunyi guruh yang menggelegar, penglihatan kedua perwira itu sekilas sempat menangkap sesosok bayangan yang sedang berjongkok disebelah pohon sawo kecik.

Segera perwira separo baya itu memberi isyarat kepada perwira pendampingnya untuk berpencar. Dengan merayap perlahan lahan keduanya pun kemudian mengambil tempat dari arah yang berlawanan. Sesuai dengan isyarat yang telah disepakati, keduanya akan menyerang dari arah yang berlawanan namun justru dalam rentang waktu yang berselisih beberapa kejap antara serangan pertama dan serangan kedua dengan maksud memperdaya lawan pada saat pemusatan pikirannya terpaku pada serangan yang pertama.

Demikianlah akhirnya, ketika terdengar bunyi cengkerik yang melengking tinggi tidak sebagaimana bunyi cengkerik yang sewajarnya, perwira separo baya itu pun melenting dengan kaki kanan terjulur lurus mengarah bayangan yang sedang berjongkok dibawah pohon sawo kecik. Sementara perwira pendampingnya telah bersiap siap mengarahkan serangannya kearah mana bayangan itu akan bergerak menghindari serangan pertama dari perwira separo baya itu.

Namun alangkah terkejutnya perwira pendamping itu ketika bayangan yang sedang berjongkok dibawah pohon sawo kecik itu justru telah melenting tinggi sebelum datangnya serangan dari perwira separo baya yang sedang meluncur deras kearahnya, bahkan dengan sekali berputar diudara, bayangan itu melontar dengan cepat menyambar kearah dimana perwira pendamping itu sedang bersembunyi.
Tidak ada kesempatan untuk menghidar bagi perwira pendamping itu, maka yang dilakukannya adalah menyilangkan kedua tangannya didepan dada. Dengan segenap kemampuan dicobanya menahan serangan kaki yang terjulus lurus dari seseorang yang bersembunyi dibawah pohon kecik itu.

Segera saja terjadi benturan yang dahsyat tapi tidak seimbang. Tampak perwira pendamping itu terlontar beberapa langkah kebelakang kemudian jatuh terguling guling. Untuk menghindari serangan susulan, perwira pendamping itu justru berguling beberapa kali lagi untuk kemudian meloncat berdiri dengan sigap, siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Perwira separo baya yang melihat sasaran serangannya justru bergerak menyerang ke arah perwira pendampingnya segera menyadari kesalahannya. Dengan sebuah loncatan panjang, diapun memburu lawannya yang kini sudah siap melontarkan serangan berikutnya kearah perwira pendampingnya.

Sejenak kemudian pertempuran sengitpun telah terjadi. Dua orang perwira yang sedang bertugas malam itu melawan seseorang yang belum diketahui jati dirinya yang mencoba menyusup ke dalam lingkungan istana kepatihan di malam itu.
Namun tampaknya kedua perwira yang sedang bertugas malam itu semakin lama terlihat semakin terdesak. Itu terlihat dari gerak mereka yang selalu meloncat mudur menghindari serangan yang membadai dari lawannya.

Ketika serangan demi serangan dari lawannya sudah tak tertahankan lagi, dengan sebuah isyarat, perwira separo baya itu pun kemudian segera mencabut senjatanya diikuti oleh perwira pendampingnya.

Lawannya sejenak termangu mangu, namun kemudian dengan menggeram dia berkata, “Persetan dengan curut curut seperti kalian ini, senjata kalian sama sekali tidak ada gunanya. Setajam apapun pedang keprajuritan kalian, tidak akan mampu menggores kulitku seujung rambut pun. Bahkan senjata itu akan dapat berbahaya bagi kalian sendiri.”

Selesai berkata demikian, orang yang mencoba menyusup istana kepatihan itupun segera memulai serangannya lagi yang membadai. Gerumbul gerumbul bagaikan terputar oleh angin prahara begitu tersentuh oleh tangannya dan ranting rantingpun berhamburan bercampur dengan air hujan serta dedaunan yang hancur lumat tersentuh ilmunya yang nggegirisi.

Segera saja pertempuran yang hiruk pikuk itu telah menarik perhatian beberapa prajurit yang sedang bertugas malam itu. Empat prajurit yang sedang betugas di gerbang sebelah utarapun segera berlari larian mendekat. Sementara beberapa prajurit yang menjaga pintu butulan telah membagi tugas. Setelah menutup pintu butulan dan menyelaraknya dengan kuat, maka sebagian prajurit telah menggantikan tugas prajurit yang menjaga gerbang di sisi utara, yang karena tergesa gesa sehingga pintu gerbang sebelah utara telah mereka tinggalkan begitu saja, sedangkan sebagian ada yang ikut berlari larian menuju ke tempat pertempuran itu terjadi.

Hujan yang turun cukup deras malam itu perlahan mulai mereda, namun titik titik air masih saja turun membasahi halaman istana kepatihan. Mendung yang menghitam telah menipis dan perlahan mengalir ketimur tertiup oleh angin malam. Bulan tuapun mulai menampakkan wajahnya yang sendu.

Dalam pada itu, orang yang berusaha menyusup kedalam istana kepatihan itu pun telah meningkatkan serangannya. Ranting ranting dan dahan dahan pepohonan di halaman samping istana kepatihan itu bagaikan di guncang prahara. Sementara setiap sentuhan tangannya menimbulkan bekas yang mendebarkan, kulit kulit pepohonan terkelupas dan hangus terbakar.

Orang yang menyusup istana kepatihan itu agaknya sudah hampir menyelesaikan tugasnya, melumpuhkan dua orang perwira yang bertugas malam itu, ketika tiba tiba saja ditengah tengah pertempuran yang sengit itu terdengar bunyi cambuk meledak, tidak begitu keras namun getarannya bagaikan merontokkan isi dada.

Dengan mengumpat kasar, orang yang berusaha menyusup istana kepatihan itu pun meloncat beberapa langkah surut. Diedarkan pandangan matanya disekeliling medan pertempuran. Tampak seseorang yang berperawakan tegap berdiri dihadapannya beberapa langkah, tangan kanannya memegang pangkal cambuknya, sedangkan juntai cambuk itu dipegangnya dengan tangan kiri.

“Ki Rangga Agung Sedayu,” desis orang itu di dalam hati. Walaupun malam tidak begitu terang karena hanya sepotong bulan tua yang menerangi halaman istana kepatihan sebelah utara, namun orang itu yakin bahwa yang sedang berdiri dihadapannya kini adalah murid tertua dari orang bercambuk, menilik dari kekuatan getaran cambuknya yang mampu merontokkan isi dada.

Ki Rangga Agung Sedayu dan Ki Mandaraka ternyata telah hadir di tempat itu. Keributan yang ditimbulkan oleh pertempuran di dekat dinding halaman kepatihan sebelah utara itu ternyata telah menarik perhatian mereka berdua.

Dengan sebuah isyarat, ki Rangga Agung Sedayu memerintahkan beberapa prajurit yang telah mengepung diseputar dinding utara kepatihan itu untuk menolong memapah kedua perwira yang bertugas malam itu ketempat yang aman. Keadaan kedua perwira itu cukup parah. Beberapa goresan luka silang melintang ditubuhnya. Tidak ada darah setetes pun yang menitik dari luka tersebut, namun luka itu justru bagaikan terbakar dan meninggalkan bekas yang mengerikan.

“Apakah aku berhadapan dengan prajurit linuwih, agul agulnya Mataram yang bernama Ki Rangga Agung Sedayu?” tiba tiba saja orang itu bertanya sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Pada dasarnya, Ki Rangga Agung Sedayu adalah orang yang jujur yang tidak pernah berusaha menyembunyikan jati dirinya, maka jawabnya tanpa tedeng aling aling, “Dugaanmu benar Ki Sanak, engkau berhadapan dengan Ki Rangga Agung Sedayu. Kalau aku boleh bertanya, siapakah Ki Sanak dan ada keperluan apakah Ki Sanak malam malam begini berkunjung ke istana kepatihan Ki Patih Mandaraka?”

Tiba tiba saja orang yang berusaha menyusup ke istana kepatihan itu tertawa tergelak. Sambil mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada, tanpa dapat diketahui dari mana datangnya, kedua tangan orang itu masing masing sudah menggenggam sebilah pisau belati. Hanya dalam sekejab sebelum Ki Rangga Agung Sedayu menyadari apa yang akan terjadi, dua larik sinar menyambar kearah dadanya.

Terkejut Ki Rangga Agung Sedayu, tidak mungkin baginya menghindari sambaran kedua belati itu dengan menloncat ke atas mengingat dapat membahayakan para prajurit yang berdiri di belakangnya, maka satu satunya jalan hanyalah dengan memutar cambuknya membentuk pusaran angin yang menghisap kedua belati tersebut sehingga runtuh tepat di depan ujung kakinya.

Tidak ada seorangpun yang menduga bahwa serangan itu adalah sekedar usaha orang itu untuk mengalihkan perhatian, bahkan ki Patih Mandaraka yang berdiri dua langkah disamping Ki Rangga Agung Sedayupun terlambat menyadarinya. Hanya dalam beberapa kejab orang itu sudah bertengger diatas tembok pembatas istana kepatihan sebelah utara setelah terlebih dahulu memecahkan kepungan para prajurit dengan mudahnya, dua orang prajurit yang berdiri diarah belakangnya telah rebah di tanah tanpa bergerak sama sekali.

Sambil memperdengarkan suara tertawanya yang menggelegar, bayangan itupun segera meloncat hilang di balik dinding. Sementara Ki Rangga Agung Sedayu dan Ki Patih Mandaraka justru tidak berusaha mengejarnya. Adalah sangat berbahaya melompati dinding sementara mereka tidak mengetahui bahaya yang tersembunyi dibaliknya.

“Sudahlah Ki Rangga, “ desis Ki Patih membuyarkan lamunan Ki Rangga Agung Sedayu, “Marilah kita kembali, biarlah segala sesuatunya diurus oleh prajurit yang sedang bertugas.”

Ki Rangga Agung Sedayu hanya dapat mengangguk anggukan kepalanya sambil menarik nafas dalam dalam. Segala sesuatunya masih gelap baginya, namun sebagi seorang prajurit yang linuwih, sebenarnya Ki Rangga Agung Sedayu merasakan getaran aneh pada panggraitanya atas kejadian yang baru saja terjadi. Seolah olah dia merasa bahwa kehadiran orang tersebut hanya sekedar mengalihkan perhatiannya atas peristiwa yang lain yang mungkin telah menjadi rencana dari golongan tertentu.

Atas perintah Ki Patih, kedua perwira yang terluka itu telah diangkat dan dibaringkan di pendapa. Sedangkan kedua prajurit yang dilumpuhkan oleh orang yang berusaha menyusup ke istana kepatihan malam itu ternyata hanya pingsan. Dengan memijat bagian tertentu dari tubuh kedua prajurit yang pingsan itu, Ki Patih telah berhasil membuat mereka tersadar kembali.

Kawan kawanya tersenyum ketika melihat betapa kedua prajurit itu menjadi kebingungan setelah mereka menyadari keadaan yang sebenarnya. Bahkan ada yang tidak dapat menahan tertawanya ketika salah seorang dari kedua prajutrit yang pingsan itu terlihat kebingungan setelah menyadari bahwa dia telah kehilangan senjatanya. Seorang kawannya ternyata secara diam diam telah melolos pedangnya dan menyembunyikannya ketika dia mulai menyadari keadaannya akibat pijatan pada bagian khusus di tubuhnya oleh Ki Patih Mandaraka.

“He, dimana pedangku,” geram prajurit yang baru sadar dari pingsannya dan baru menyadari bahwa pedang keprajuritannya tidak berada di sarungnya.

“Apakah engkau yakin tidak lupa membawa pedangmu saat berangkat bertugas?” bertanya salah seorang kawannya sambil tersenyum senyum.

“Jangan bergurau, “ bentak prajurit yang kehilangan pedangnya itu, “Pedang bagi seorang prajurit adalah sama harganya dengan nyawanya, dalam pertempuran kehilangan pedang sama artinya kehilangan nyawa.”

“Jadi bagaimana mungkin engkau masih hidup sampai sekarang sedangkan engkau telah kehilangan nyawamu?”

“Gila,” sekali lagi prajurit yang kehilangan pedangnya itu menggeram, “Hentikan permainan gila ini atau kalian akan berurusan dengan perwira yang bertugas malam ini.”
Kawan kawannya saling berpandangan sejenak, namun kemudian seseorang telah menunjuk kearah pendapa sambil berdesis, “Kedua perwira yang bertanggung jawab malam ini sedang terluka, mungkin diperlukan waktu beberapa hari untuk memulihkan keadaan mereka seperti sedia kala.”

Prajurit yang kehilangan pedangnya itu sejenak termangu mangu, namun kemudian jawabnya, “Akan segera ditunjuk perwira penggantinya malam ini juga. Kepadanya aku akan melaporkan ulah gila kalian ini. Dalam keadaan yang genting, kalian masih saja sempat bergurau, bahkan gurauan yang tidak masuk akal sama sekali, mencuri pedangku disaat aku pingsan.”

“Pingsan atau tidur?” tiba tiba salah seorang kawannya menyelutuk.

Segera saja terdengar tertawa yang berderai derai dari para prajurit yang sedang mengerumuni kedua kawannya yang baru sadar dari pingsannya itu.

Prajurit yang kehilangan pedangnya itu kelihatannya tidak mau meladeni ulah kawan kawannya yang semakin gila. Dengan tergesa gesa diapun bangkit berdiri, tetapi alangkah terkejutnya ketika dia sedang menundukkan kepalanya sambil mengibas ngibaskan debu yang melekat di kain panjangnya, matanya tertumbuk pada sebuah pedang yang tergeletak hanya berjarak satu jengkal saja dengan ibu jari kakinya.

Sambil bersungut sungut, prajurit itupun kemudian membungkukkan badannya untuk mengambil pedang yang tergeletak hanya sejengkal di depannya. Setelah sejenak mengamat amati dan yakin bahwa itu adalah pedangnya sendiri, tanpa banyak cakap segera saja pedang itu disarungkannya.

Ketika kemudian prajurit itu dengan langkah lebar meninggalkan tempat itu, terdengar kawan kawannya masih sempat berbisik bisik, “He, dia telah menemukan nyawanya kembali.”

“Semoga lain kali dia tidak meletakkan nyawanya sembarangan.”

Namun prajurit yang telah menemukan senjatanya itu telah jauh dan memang dia tidak ingin meladeni gurauan kawan kawannya yang baginya keterlaluan dan tidak masuk akal.

Dalam pada itu, Ki Patih dan Ki Rangga Agung Sedayu sejenak masih menyempatkan diri untuk mengamati luka luka yang di derita oleh dua orang perwira yang bertugas jaga malam itu. Sambil mengerutkan keningnya, mereka berdua menjadi berdebar debar ketika melihat dari dekat akibat yang ditimbulkan oleh luka itu. Kulit kedua perwira itu melepuh bagaikan tersentuh bara api yang terbuat dari tempurung kelapa.

Keduanya sejenak masih mencoba mengurai kemungkinan pengenalan mereka atas luka luka yang diderita oleh kedua perwira itu. Sejauh yang dapat dikenali oleh Ki Patih, memang ada beberapa perguruan yang mampu melepaskan kekuatan ilmunya melalui sentuhan jari jari tangannya. Getaran ilmu itu dapat tersalurkan melalui ujung ujung jari dan dapat menimbulkan panas yang dapat membakar apa saja yang disentuhnya.

“Aku mengenal sebuah perguruan di daerah Madiun yang terletak didekat sebuah telaga yang cukup luas. Mereka menyebut perguruan itu perguruan Liman Benawi, gabungan nama dari letak perguruan itu yang berada di tepi telaga dan seekor gajah peliharaan dari pemilik padepokan yang menyebut dirinya sebagai Ki Wasi Jaladara.”

“Apakah perguruan itu mempunyai sikap tertentu terhadap perkembangan Mataram, Ki Patih?”

“Perguruan itu tidak ikut campur ketika terjadi pertempuran antara Mataram dan Madiun beberapa waktu yang lampau. Namun ada satu hal yang menarik dari perguruan itu, kesenangannya untuk mengumpulkan benda benda pusaka, baik berupa keris, pedang, tombak maupun batu batu bertuah. Bahkan kitab kitab kunapun tidak luput dari perburuan mereka. Sebenarnyalah kekuatan mereka itu tercipta dari gabungan segala yang mereka dapatkan itu untuk diteliti dan dipelajari hubungan yang mungkin dapat ditimbulkan diantara mereka yang kemudian akan luluh menjadi sebuah ilmu baru yang nggegirisi.”

Ki Rangga Agung Sedayu tertegun sejenak. Panggraitanya yang tajam telah mengisyaratkan kepadanya bahwa sesuatu agaknya sedang mengancam keselamatan dirinya. Namun ki Rangga tidak mampu mengurai apakah sebenarnya yang sedang dan akan terjadi diseputar diri pribadinya itu.

“Marilah Ki Rangga,” berkata Ki Patih Mandaraka sambil berjalan masuk ke pringgitan, “Biarlah tabib yang berwenang mengurus mereka yang terluka.”

“Ki Patih,” tiba tiba Ki Rangga Agung Sedayu menyela sehingga langkah Ki Patih yang sudah hampir mencapai pintu pringgitan terhenti sejenak.

Sambil berpaling Ki Patih Mandaraka mengerutkan keningnya dalam dalam, kemudian katanya, “Adakah sesuatu yang memberati hatimu Ki Rangga?”

Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam sebelum menjawab pertanyaan Ki Patih, “Sesungguhnya ini hanyalah kekawatiran dari seseorang yang berjiwa kerdil saja Ki Patih. Jika aku diijinkan, malam ini juga aku akan kembali ke Menoreh.”

“Malam ini Juga?” terheran heran Ki Patih sambil berjalan kembali mendekati Ki Rangga Agung Sedayu.

“Apakah Ki Rangga mencemaskan keluarga yang ada di Menoreh sehubungan dengan kedatangan orang yang berusaha menyusup ke istana kepatihan tadi?”

“Ampun Ki Patih, justru pengenalan orang yang berusaha menyusup ke istana kepatihan tadi tentang diriku, membuat aku berpikir tentang keselamatan keluarga yang ada di Menoreh.”

“Bukankah Ki Jayaraga masih tinggal di rumahmu?”

“Benar Ki Patih.”

“Seseorang yang ingin berbuat jahat terhadap keluarga Ki Rangga, aku kira harus berpikir seribu kali. Ki Jayaraga adalah seorang yang linuwih, apalagi masih ada istrimu yang tidak bisa dipandang sebelah mata kemampuannya.”

Ki Rangga Agung Sedayu sejenak menjadi ragu ragu. Berbagai pertimbangan berkecamuk didalam hatinya.

Akhirnya Ki Rangga Agung Sedayu pun menyampaikan juga kepada Ki Patih tentang keadaan sebenarnya yang dialami oleh istrinya.

“Ampun Ki Patih, akhir akhir ini Sekar Mirah harus banyak beristirahat, latihan olah kanuragan dan pemusatan ilmu yang diwarisi dari Ki Sumangkar, telah dua bulan ini tidak pernah diungkapkannya baik dalam bentuk kewadagan maupun hanya dalam bentuk pemusatan nalar dan budi.”

Wajah Ki Patih menjadi bersungguh sungguh mendengarkan penjelasan dari Ki Rangga Agung Sedayu, lalu katanya sambil mengangguk anggukkan kepalanya, “Bersyukurlah kepada Yang Maha Agung atas karunia ini, Ki Rangga. Di usia yang mulai merambat senja, justru karunia itu telah datang. Betapa memang kekuasaan Yang Maha Agung itu sungguh tak terbatas. Bahkan di dalam kitab suci yang kita yakini, diceritakan tentang salah satu utusanNYA yang mendapat karunia momongan justru pada saat usia utusan itu sudah sangat tua, dan istrinya pun sudah dianggap mandul oleh para pengikutnya.”

Dada Ki Rangga Agung Sedayu tergetar mendengar uraian dari Ki Patih. Hatinya benar benar diliputi rasa syukur yang tiada terkira atas segala karunia yang telah dilimpahkan kepada diri dan keluarganya.

“Baiklah Ki Rangga, kalau memang itu menjadi landasan pertimbanganmu, sebaiknya pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit, engkau dapat kembali ke Menoreh. Aku kira malam ini tidak akan terjadi apa apa. Seandainya orang yang berusaha menyusup istana kepatihan itu ingin mengganggu keluarga yang ada di Menoreh, diperlukan perjalanan yang panjang untuk mencapai Menoreh. Mungkin setelah matahari terbit baru sampai di Menoreh, dan di siang hari adalah kemungkinan yang sangat kecil untuk berbuat onar di Tanah Perdikan Menoreh. Itu sama saja dengan mencari mati.”

Ki Rangga Agung Sedayu mengangguk anggukkan kepalanya. Memang apa yang telah disampaikan oleh Ki Patih itu adalah hal yang sangat masuk akal menurut perhitungan nalar.

Glagah Putih dan Rara Wulan yang sedari tadi mendengarkan cerita dari Ki Rangga Agung Sedayu hanya dapat terpekur diam. Mereka berdua tidak mampu untuk mengurai kejadian yang saling tumpang tindih antara hilangnya kitab perguruan Windujati dan tujuan seseorang yang berusaha menyusup ke istana Kepatihan.

“Mengapa orang yang berusaha menyusup ke istana kepatihan itu justru melarikan diri setelah mengetahui bahwa yang dihadapinya adalah Ki Rangga Agung Sedayu?” bertanya Rara Wulan seolah olah kepada dirinya sendiri.

“Tentu saja dia takut menghadapi Kakang Agung Sedayu, Wulan.” Glagah Putih yang duduk didepannya menyahut.

“Tentu tidak,” Ki Rangga Agung Sedayu lah yang menjawab sambil menggeleng gelengkan kepalanya, “kalau seandainya ada yang ditakuti oleh orang itu, Ki Patih Mandaraka lah yang seharusnya lebih ditakuti. Tetapi kenapa justru dia berusaha menyusup ke istana Kepatihan?”

“Kakang benar,” sahut Glagah Putih, “Seandainya orang itu mempunyai perhitungan yang waras, tidak mungkin dia akan berusaha menyusup ke istana Kepatihan jikalau dia tahu benar bahwa Ki Patih sedang berada di Kepatihan.”

“Apakah mungkin orang tersebut hanya ingin menarik perhatian atas penghuni istana kepatihan untuk meyakinkan atas pengamatannya siapa sajakah yang sedang tinggal di istana Kepatihan malam itu?” desis Ki Rangga Agung Sedayu perlahan lahan.

Tiba tiba saja Ki Rangga Agung Sedayu terlonjak dari tempat duduknya bagaikan disengat kalajengking ketika menyadari kemungkinan itu dapat saja terjadi.

“Jadi kesimpulan apakah yang dapat kita tarik dari semua kejadian itu?” bertanya Glagah Putih dengan berdebar debar.

Ki Rangga Agung Sedayu termenung sejenak, perlahan lahan dia menengadahkan wajahnya, lalu dilemparkannya pandangan matanya ke titik titik di kejauhan. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan menunggu tanggapan Ki Rangga Agung Sedayu dengan jantung yang berdebar debar.

“Seandainya orang itu hanya ingin meyakinkan keberadaanku malam itu di istana Kepatihan, dapat dipastikan bahwa dia tidak berdiri sendiri, ada sekelompok atau mungkin lebih dari dua orang yang berkepentingan dengan keterangan tentang keberadaanku malam itu, sehingga mereka punya landasan yang kuat untuk melaksanakan rencanya mereka selanjutnya.”

“Dan langkah mereka selanjutnya adalah mencuri kitab peninggalan Kiai Grinsing.” Sahut Rara Wulan berapi api.

“Mengapa engkau menarik kesimpulan seperti itu, Rara?” tanya Glagah putih dengan cepat.

“Bukankah mereka yakin rencananya akan berjalan lancar karena mereka tahu bahwa Kakang Agung Sedayu tidak ada di rumah?”

“Bagaimana dengan Ki Jayaraga?” giliran Ki Rangga Agung Sedayu yang bertanya.

Tiba tiba Rara Wulan meluncur turun dari batu tempat duduknya. Kemudian dia berjalan dengan cepat mendekat ke Glagah Putih, sambil mengguncang guncangkan lengan Glagah Putih, Rara Wulanpun berseru, “Kakang, bukankah Kakang hapal sekali dengan kebiasaan Ki Jayaraga yang selalu berangkat ke sawah pagi pagi sekali?”

“He,” Glagah Putih tersentak mendengar pertanyaan Rara Wulan.

“Dan Nyi Sekar Mirah sudah terbiasa ke pasar setiap pagi. Jadi hanya Sukra yang biasanya menjaga rumah di pagi hari.” Tambah Rara Wulan.

“Memang sekembalinya aku dari Mataram menjelang sore di hari itu. Aku tidak menjumpai Sukra sama sekali, bahkan beberapa lembar pakaiannya pun telah dibawanya pergi.” Berkata Ki Rangga Agung Sedayu.

“Kejadian itu mungkin saja terjadi pada saat di rumah hanya ada Sukra, Kakang.” Kini giliran Glagah Putih yang memberikan pendapatnya.

“Apalah artinya Sukra menghadapi orang orang yang bermaksud jahat itu jika seandainya memang benar kelompok dari orang yang berusaha menyusup di Istana Kepatihan itu yang melakukan pencurian kitab peninggalan Kiai Gringsing.” Potong Rara Wulan.

“Tetapi mengapa Sukra harus pergi meninggalkan rumah seandainya benar dia tidak bersalah?” bantah Glagah Putih tidak mau kalah.

“Kemungkinannya hanya satu,” sahut Rara Wulan cepat, “Sukra pergi dari rumah bukan atas kemauannya sendiri, tapi atas kehendak orang lain.”

“Maksudmu diculik?” hampir berbareng Ki Rangga Agung Sedayu dan Glagah Putih bertanya.

“Ya,” jawab Rara Wulan mantap, seolah olah dia sudah dapat merangkai semua kejadian itu menjadi suatu urutan cerita yang runtut.

Ki Rangga Agung Sedayu dan Glagah Putih saling berpandangan. Hati mereka benar benar diliputi oleh ketegangan yang luar biasa membayangkan Sukra yang mungkin kini sedang dalam penguasaan sekelompok orang orang yang tak dikenal.

Namun tanpa sadar tiba tiba Ki Rangga Agung Sedayu menggeleng gelengkan kepalanya sambil bergumam, “Seandainya benar Sukra diculik, dia tidak akan mempunyai kesempatan untuk mengemasi pakaiannya.”

“Ah,” desah Rara Wulan merasa kecewa karena pendapatnya ternyata masih dapat dimentahkan dengan kenyataan yang ada, sementara Glagah Putihpun menarik nafas dalam dalam sambil mengangguk anggukkan kepalanya.

“Sudahlah,” akhirnya Ki Rangga Agung Sedayu mencoba mengalihkan perhatian dari persoalan yang cukup memusingkan kepala itu, kemudian lanjutnya, “Dimanakah kalian tinggal selama ini?”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu mangu sejenak, hati mereka masih diliputi oleh kegelisahan tentang keberadaan Sukra sehingga pertanyaan dari Ki Rangga Agung Sedayu itupun seolah olah tidak mereka dengar.

Baru ketika untuk kedua kalinya Ki Rangga Agung Sedayu mengulangi pertanyaannya, merekapun bagaikan tersadar dari sebuah mimpi buruk.

“Kakang,” berkata Glagah Putih kemudian, “Kami tinggal di sebuah rumah di pinggiran kota Panaraga, disana kami berkumpul bersama sama dengan para petugas sandi dari Mataram yang lainnya.”

“Apakah keberadaan rumah tempat kalian berkumpul itu tidak tercium olah para petugas sandi dari Kadipaten Panaraga?”

“Kemungkinan itu sudah ada Kakang, dengan terbongkarnya penyamaran Rara Wulan, kami sudah berpikir untuk segera menyingkir dari rumah itu sebelum para petugas sandi dari Kadipaten Panaraga mencium keberadaan kami.”

“Lakukanlah, semakin cepat semakin baik. Aku tidak bisa bergabung dengan kalian untuk sementara waktu karena ada tugas khusus yang dibebankan oleh Ki Patih Mandaraka kepadaku.”

“Baiklah Kakang, kami segera minta diri untuk kembali ke pondokan kami dan memberi tahu Ki Madyasta untuk segera menyingkir dari rumah itu.”

Demikianlah, sebelum berpisah merekapun telah saling menyepakati kapan dan dimana mereka akan bertemu lagi, tentu saja dengan menggunakan tanda tanda sandi yang dapat mereka letakkan dimana saja, atau bahkan mereka goreskan di pohon pohon di pinggir jalan tanpa menarik perhatian sama sekali.

Matahari telah semakin tinggi ketika kemudian mereka bertiga mengambil jalannya masing masing, Glagah Putih dan Rara Wulan kembali ke pondokan mereka sedangkan Ki Rangga Agung Sedayu sejenak masih menelusuri sungai beberapa saat untuk kemudian naik ketepian kembali ke pusat kota Panaraga.

Sementara itu di tanah Perdikan Menoreh, Ki Jayaraga sedang beristirahat melepaskan lelah setelah menyiangi padi di sawah yang mulai tumbuh subur. Rumput rumput yang tumbuh disela sela batang padi itu harus disingkirkan agar batang batang padi bisa tumbuh semakin subur dan akhirnya diharapkan akan menghasilkan bulir bulir padi yang melimpah.

Ketika Ki Jayaraga sedang duduk duduk di gubuk sambil melepaskan lelah, tanpa sengaja pandangan matanya tertumbuk pada dua orang laki laki yang berjalan dengan tergesa gesa meniti pematang dari arah seberang jalan.

Dua orang laki laki yang bertubuh kekar dan berwajah keras, sekeras batu padas di gerojokan. Kumis dan jambang tumbuh sangat lebat hampir menutupi sebagian wajah mereka, sementara jenggot mereka dibiarkan saja tumbuh liar hampir sebatas dada.
Dada Ki Jayaraga menjadi berdebar debar ketika tanpa ragu ragu langkah kedua orang itu justru menuju ke gubuk tempatnya melepas lelah.

Debar di jantung Ki Jayaraga pun semakin kencang ketika tanpa disengaja pandangan mata mereka bertemu pada saat kedua orang itu tinggal beberapa langkah saja di depan gubuk tempat Ki jayaraga melepas lelah.

“Ki sanak, “ sapa orang yang berperawakan lebih tinggi dari kawannya, “Bukankah Ki sanak ini yang bernama Jayaraga?”

KI Jayaraga terkejut, tampaknya orang ini sudah mengenal dirinya atau setidak tidaknya mendapat gambaran tentang dirinya sebelum datang menemuinya.

Dengan cepat Ki Jayaragapun bangkit dari tempat duduknya. Segala sesuatunya mungkin saja terjadi sebelum dia menyadari dengan siapa dia berhadapan.

“Benar Ki sanak, akulah yang disebut Jayaraga yang tinggal di rumah Ki Rangga Agung Sedayu, Pemimpin prajurit pasukan khusus dari Mataram yang bertempat di Tanah Perdikan Menoreh.” Jawab Ki Jayaraga tanpa tedeng aling aling karena dia sudah mempersiapkan dirinya lahir batin untuk mengahadapi segala kemungkinan yang terjadi.

Orang berperawakan tinggi itu mengerutkan keningnya. Tampak dari sinar matanya ada rasa ketersinggungan dengan jawaban Ki Jayaraga.

“Kakang Wirapati,” berkata orang yang berperawakan agak pendek kepada kawannya yang ternyata bernama Wirapati, “Mengapa Kakang masih menggunakan segala unggah ungguh menghadapi orang yang sudah akan mati ini? Jangan banyak membuang waktu, segera kita lumpuhkan saja orang tua ini dan kita seret ke rumah Ki Rangga Agung Sedayu untuk menunjukkan dimana Ki Rangga Agung Sedayu menyimpan kitab peninggalan gurunya, kitab perguruan Empu Windujati.”

Bagaikan disambar halilintar di siang hari Ki Jayaraga mendengar perkataan orang yang berperawakan agak pendek itu, namun sebelum dia menanggapinya, tiba tiba orang yang bernama Wirapati itu menggeram keras bagaikan geraman seekor singa jantan.

“He tua bangka Jayaraga, menyerahlah dan ikut kami ke rumah Ki Rangga Agung Sedayu. Sejak pagi tadi kami sudah mengaduk isi rumah Ki Rangga Agung Sedayu namun tidak kami temukan tanda tanda adanya kitab Empu Windujati.”

Berdesir dada Ki Jayaraga, namun orang tua itu berusaha untuk setenang mungkin menghadapi hal yang sangat tidak diduganya.

“Sebentar Ki sanak berdua,” berkata Ki Jayaraga sareh, “Aku tidak begitu mengerti tentang apa yang kalian bicarakan. Kalian menyebut nyebut kitab peninggalan perguruan Empu Windujati. Sepengetahuanku perguruan itu telah lama hilang dari muka bumi sejak runtuhnya kerajaan Majapahit, bahkan siapa pewaris dari perguruan itupun tidak ada yang mengetahuinya.”

“Bohong!” bentak Wirapati, “Semua orang tahu bahwa orang bercambuk yang bernama Kiai Gringsing itu adalah pewaris dari perguruan Empu Windujati dan Ki Rangga Agung Sedayu adalah salah satu murid dari Kiai Gringsing. Apakah engkau masih akan mengingkarinya?”

“Dari mana Ki sanak mendengar dongeng ngaya wara ini?” bertanya Ki Jayaraga dengan hati yang berdebar debar. Agaknya sudah bukan rahasia lagi bahwa jalur perguruan Empu Windujati itu sudah diketahui oleh kebanyakan orang.

Tiba tiba kedua orang itu tertawa tergelak. Sambil berpaling kearah kawannya, Wirapati berkata, “Adi Surengpati, tolong beritahu kakek tua ini sebelum ajalnya menjemput agar tidak penasaran menjelang kematiannya.”

“Baiklah Kakang,” jawab Surengpati sambil tersenyum senyum kearah Ki Jayaraga, “Ketahuilah Ki Jayaraga, karena kesombongan murid dari orang bercambuk itu sendirilah yang telah menyingkap tabir yang selama ini menutupi keberadaan jalur perguruan Empu Windujati. Hampir semua orang percaya kalau perguruan Empu Windujati telah lenyap bersamaan waktunya dengan runtuhnya Majapahit. Namun kini semua orang membicarakan munculnya jalur perguruan itu dalam hubungannya dengan perguruan Kiai Gringsing yang menyebut dirinya sebagai orang bercambuk.”

Ki Jayaraga berdiri termangu mangu. Berbagai pertimbangan bergejolak didalam hatinya. Bukankah selama ini murid murid orang bercambuk tidak pernah menyebut diri mereka sebagai pewaris dari jalur perguruan Empu Windujati? Bagaimanakah hal ini bisa terjadi?

Agaknya Surengpati bisa menebak jalan pikiran Ki Jayaraga, maka katanya kemudian, “Murid muda dari orang bercambuk yang bernama Swandaru itulah yang telah dengan sombong menyebut dirinya pewaris perguruan Empu Windujati. Bahkan dia telah berani menantang guru kami Kiai Sarpa Kenaka dari perguruan Toya Upas ketika terjadi perselisihan di arena Langen Tayub antara Swandaru dengan salah seorang murid perguruan kami.”

Ki Jayaraga mengerutkan keningnya dalam dalam. Swandaru memang berbeda dengan Agung Sedayu. Swandaru mempunyai sifat yang cenderung meledak ledak dan hampir tidak pernah banyak pertimbangan dalam bertindak. Namun rahasia perguruan seharusnya tetap dijaga, bagaimanapun keadaannya.

“Sudahlah Ki Jayaraga,” sekarang giliran Wirapati yang berbicara, “Lebih baik engkau jangan banyak tingkah dan segera tunjukkan kepada kami dimana Ki Rangga Agung Sedayu menyimpan kitab peninggalan Empu Windujati.”

“Aku benar benar tidak mengerti Ki sanak,” Ki Jayaraga mencoba untuk memancing keterangan lebih banyak lagi, “Kalau seandainya benar perguruan orang bercambuk itu adalah jalur perguruan Empu Windujati yang selama ini terpendam, apakah setiap perguruan pasti mempunyai sebuah kitab yang diwariskan turun temurun? Hal ini masih perlu untuk dibuktikan.”

Kembali kedua orang itu tertawa tergelak gelak. Sambil menggeleng gelengkan kepalanya Wirapati menjawab, “He, orang pikun. Ketahuilah, pada saat itu Swandaru dalam keadaan mabuk berat karena tidak bisa menolak setiap kali Nyi Saimah tledek yang muda dan cantik itu menyodorkan tuak sebagai penghormatan atas kesediaannya menghadiri perhelatan pernikahan anak bungsu Ki Jinawi, paman dari saudara seperguruan kami, Adi Wanengpati yang tinggal di Kademangan Semangkak, tetangga dari Kademangan Sangkal Putung yang besar.”

“Ya,” sahut Surengpati, “Dan ternyata anak Ki Demang Sangkal Putung yang gemuk itu tersinggung ketika Nyi Saimah melayani Kakang Wanengpati untuk menari sedangkan Swandaru sudah mendapatkan giliran sebelumnya, bahkan berkali kali tanpa ada seorangpun yang berani menghentikannya.”

“Benar benar suatu kesombongan yang tiada taranya. Swandaru telah menghentikan Adi Wanengpati yang justru baru mulai menari diiringi oleh Nyi Saimah. Pertengkaranpun tidak bisa dihindarkan lagi. Saat itulah, Swandaru dengan licik telah menyerang Adi Wanengpati tanpa peringatan terlebih dahulu. Bahkan dengan sombongnya dia telah menantang guru kami seandainya Adi Wanengpati tidak terima dengan peristaiwa yang telah terjadi.” Berkata Wirapati sambil menggeretakkan giginya.

Debar di dada Ki Jayaragapun semakin kencang ketika Wirapati meneruskan ceritanya.
“Pada saat itu guru kami sedang menjalani laku dari puncak ilmu perguruan kami, tapa kungkum selama empat puluh hari empat puluh malam sehingga tidak bisa diganggu. Ketika hal itu disampaikan Adi Wanengpati kepada Swandaru, dengan sombongnya dia mengatakan sanggup menunggu sampai kapanpun laku itu akan berakhir, bahkan diapun tak mau kalah telah mengatakan dalam waktu dekat akan menjalani laku sebuah ilmu dari kitab peninggalan perguruan Empu Windujati yang sekarang sedang berada di tangan kakak seperguruannya, Ki Rangga Agung Sedayu yang bulan depan akan diserahkan kepadanya sesuai dengan giliran yang telah disepakati, karena masih menurut pengakuannya, mereka berdua adalah pewaris dari jalur perguruan Empu Windujati yang telah lama menghilang.”

Kini Ki Jayaraga benar benar tidak bisa menghindar lagi karena ternyata rahasia itu telah diungkapkan oleh Swandaru sendiri, salah seorang murid Kiai Gringsing yang mempunyai jalur langsung dari perguruan Empu Windujati.

“Sudahlah Ki Jayaraga,” berkata Wirapati selanjutnya, “Semua perguruan yang ada di tanah ini telah menyebarkan murid muridnya untuk memburu kitab peninggalan Empu Windujati. Pada saat kami memasuki Tanah Perdikan ini, menilik ciri ciri yang mereka kenakan, kami telah mengenali murid murid dari perguruan Liman Benawi dari Madiun, Sasadara dari Blitar, Brajamusti dari pegunungan kapur, bahkan dari perguruan yang ada di ujung timur pulau inipun telah mengirimkan muridnya, perguruan Harga Belah di tlatah Blambangan.”

“Perguruan Harga Belah dari Blambangan?” tanya Ki jayaraga tanpa disadarinya.

“Ya, perguruan Harga Belah yang dipimpin oleh Kiai Harga Jumena dengan Aji kebanggaannya Aji Harga Belah yang mampu membelah gunung sebesar apapun.”

Ki Jayaraga benar benar tidak tahu apa yang seharusnya diperbuat menghadapi keadaan yang tidak terduga sama sekali itu. Tanah Perdikan Menoreh benar benar telah kedatangan berbagai perguruan dengan bermacam aliran justru pada saat Ki Rangga Agung Sedayu sedang melawat ke Timur, ke Kadipaten Panaraga.

“Nah, Ki Jayaraga,” berkata Surengpati sambil melangkah maju, “Kami harap engkau tidak banyak tingkah, semua perguruan sekarang sedang berlomba mencari dimana kitab itu disimpan, dan sebagai orang yang tinggal serumah dengan Ki Rangga Agung Sedayu, setidaknya engkau pernah melihat atau bahkan mengetahui dimana kitab itu disimpan.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam dalam. Tidak ada pilihan lain baginya selain harus menyingkirkan kedua orang itu sebelum menemui Ki Argapati dan Prastawa untuk membicarakan keselamatan dan keamanan Tanah Perdikan Menoreh sehubungan dengan kedatangan berbagai perguruan dengan bermacam aliran yang dapat mengganggu sendi sendi kehidupan di Tanah Perdikan Menoreh.

Perlahan lahan Ki Jayaraga mengambil jarak beberapa langkah dari kedua orang itu, kemudian katanya, “Ki sanak berdua, aku tahu kalian adalah murid murid perguruan Toya Upas yang sangat senang bermain main dengan racun, namun aku tidak perduli, yang jelas aku tidak akan menyerah begitu saja, terserah Ki sanak menanggapi sikapku ini.”

Sejenak kemudian, Ki Jayaraga telah memusatkan nalar budinya untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi, kemungkinan yang paling pahit sekalipun.
Wirapati dan Surengpati saling berpandangan sejenak. Mereka sudah menduga bahwa Ki Jayaraga akan mengambil keputusan untuk melawan. Pengenalan mereka terhadap Ki Jayaraga memang kurang lengkap, namun mereka tidak menganggap Ki Jayaraga hanyalah petani biasa yang ikut tinggal di rumah Ki Rangga Agung Sedayu dan dipasrahi untuk mengurus sawah dan ladang. Menurut pengamatan mereka setidaknya Ki Jayaraga adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk menjaga dirinya sendiri.

“Baiklah,“ akhirnya Wirapati yang menjawab, “Kami dari perguruan Toya Upas di lereng Gunung Lawu tidak berkeberatan untuk mengantarkan selembar nyawamu ke alam kelanggengan dengan penuh kejantanan.”

Selesai berkata demikian, kedua orang murid perguruan Toya Upas dari lereng Gunung Lawu itu pun segera bergerak memisahkan diri. Wirapati yang lebih tua ternyata telah menempatkan diri disisi kanan Ki Jayaraga, sedangkan Surengpati yang lebih muda diarah sebaliknya.

Ada yang menarik perhatian Ki Jayaraga pada kedua orang murid perguruan Toya Upas itu ketika keduanya mulai bergerak. Jari jari tangan yang mengembang itu ternyata berkuku panjang panjang dan berwarna kehitam hitaman, menandakan adanya kandungan racun yang sangat ganas dan keji.

Wirapati yang berada di sebelah kanan Ki Jayaraga perlahan menjulurkan kedua tangannya kedepan, dengan jari jari yang mengembang layaknya cakar seekor rajawali, ditekuknya lutut kaki kanannya sedikit merendah. Kemudian dengan bentakan yang menggelegar dia meloncat menubruk kearah dada Ki Jayaraga.

Dengan tenang Ki Jayaraga menarik kaki kirinya selangkah kebelakang. Dengan kedudukan badan yang setengah condong kekanan, tiba tiba Ki Jayaraga mengangkat lutut kaki kirinya menyambut datangnya serangan Wirapati yang meluncur bagaikan tatit. Dengan meluruskan kaki kiri yang diangkat, tumit kaki kiri Ki Jayaraga pun menjulur berusaha menghantam perut Wirapati.

Wirapati sama sekali tidak berusaha menghindar dari serangan Ki Jayaraga, justru arah serangan kedua tangannya kini berubah arah untuk dibenturkan dengan tumit kaki kiri Ki Jayaraga.

Ki Jayaraga terkejut. Dengan cepat direbahkannya tubuhnya yang sudah dalam keadaan condong kekanan itu untuk menghindari tumit kaki kirinya berbenturan dengan jari jari Wirapati yang beracun. Sebagai gantinya, bersamaan dengan ditariknya kaki kirinya, dalam keadaan rebah disawah yang berlumpur, kaki kanannya menebas deras kearah kaki Wirapati yang baru saja menjejak di tanah.

Wirapati mendengus marah mendapat serangan yang tak terduga dari Ki Jayaraga. Dengan sebelah kaki yang baru saja menjejak tanah, dilontarkan tubuhnya kedepan sambil berguling menghindari sambaran kaki Ki Jayaraga.

Ketika keduanya telah berdiri kembali diatas kaki kaki mereka yang kokoh, pakaian kedua orang itu ternyata telah basah kuyup dan berlepotan lumpur. Bahkan wajah Wirapati hampir tidak dapat dikenali lagi karena lumpur yang melumuri hampir seluruh wajahnya.

Surengpati hampir tidak dapat menahan tertawanya melihat ujud kedua orang itu. Namun segera saja ditahannya dengan susah payah ketika tanpa disengaja pandangan matanya terbentur pada sorot mata Wirapati yang menyala.

Sejenak kemudian Surengpati pun segera melibatkan dirinya dalam kancah pertempuran yang sengit. Batang batang padi yang mulai tumbuh subur itu hancur terinjak injak oleh kaki kaki mereka yang sedang bertempur. Medan yang cukup sulit bagi orang kebanyakan, ternyata tidak menjadi halangan yang berarti bagi mereka yang sedang bertempur itu. Bahkan kadang kadang murid murid dari perguruan Toya Upas yang terbiasa bertempur dengan kasar dan sedikit liar itu telah memanfaatkan medan yang berlumpur untuk berbuat curang. Dengan sengaja mereka sesekali menendang seonggok lumpur atau dengan tangannya meraih segenggam lumpur untuk kemudian dilemparkan kewajah lawannya.

Ki Jayaraga adalah orang yang sudah pernah menjalani hidup di dunia hitam hampir sepanjang umurnya sebelum bertemu dengan Kiai Gringsing. Menghadapi cara bertempur lawannya itu dia sama sekali tidak terkejut. Justru lawan-lawannyalah yang terkejut melihat tandang Ki Jayaraga. Walaupun secara wadag Ki Jayaraga sudah tidak dapat dikatakan muda lagi, namun tenaganya benar benar ngedab edabi.

Ada satu hal yang membuat Ki Jayaraga harus lebih berhati hati dan selalu waspada. Kedua lawannya itu ternyata selalu berusaha untuk membenturkan jari-jari tangannya dengan bagian tubuh Ki Jayaraga yang manapun juga. Bahkan setiap kali Ki Jayaraga menyerang dengan tangan maupun kakinya, mereka tidak pernah berusaha mengelak. Dengan tatag semua serangan itu berusaha dibenturkannya dengan jari-jari tangan mereka yang berkuku tajam dan berwarna hitam.

Memang sudah menjadi kebiasaan murid murid perguruan Toya Upas yang senang bermain main dengan racun. Segores tipis saja dari kuku-kuku jari mereka di kulit lawannya, sudah cukup untuk mengantarkan nyawa mereka ke alam baka.

Menyadari betapa berbahayanya kuku-kuku jari lawannya, Ki Jayaraga mulai mengetrapkan ilmunya atas penguasaan unsur unsur air, udara dan api. Beberapa saat kemudian terasa oleh lawan lawan Ki Jayaraga, betapa udara diseputar mereka bertempur perlahan lahan telah berubah menjadi panas.

Matahari memang sedang bersinar dengan teriknya. Agaknya sebentar lagi matahari akan segera tergelincir dari puncaknya menuju ke langit sebelah barat. Namun panas yang dirasakan oleh lawan lawan Ki Jayaraga terasa tak tertahankan lagi. Seolah olah mereka sedang berjerang di depan tungku perapian seorang pande besi.

Sementara itu di pendapa rumah Ki Gede Menoreh, Prastawa dan Ki Jagabaya sedang menghadap Ki Argapati.

“Jadi kalian belum dapat mengambil suatu kesimpulan, siapakah orang orang asing yang mendatangi Tanah Perdikan Menoreh ini?” Ki Argapati bertanya sambil memandang kepada kedua orang yang duduk di depannya.

“Belum, Paman,” jawab Prastawa, “Mereka yang hadir di Menoreh ini memiliki ujud yang berbeda beda, maksudku cara berpakaian maupun bertingkah laku. Ada yang kasar dan sedikit liar, ada yang tampak sangat rapi dan sopan, bahkan ada segolongan orang yang berpakaian aneh-aneh dan membawa binatang piaraan yang tidak wajar, seperti seekor ular bandotan yang besar, biawak, landak dan sebagainya.”

“Benar apa yang disampaikan Anakmas Prastawa itu,Ki Gede,” Ki Jagabaya menambahkan, “Namun sejauh ini mereka belum menampakkan ulah yang dapat meresahkan kehidupan Tanah Perdikan ini.”

Ki Gede Menoreh sejenak termangu mangu. Sebagai orang yang sudah kenyang makan asam garamnya kehidupan ini, nalurinya mengatakan bahwa untuk kesekian kalinya kembali tanah ini akan diguncang oleh peristiwa yang dahsyat. Api akan kembali membakar bukit Menoreh, membakar kehidupan Tanah Perdikan yang tenang dan damai ini.

Perlahan lahan matahari mulai tergelincir ke barat. Angin sore yang kering bertiup menggugurkan daun daun pohon mangga yang tumbuh di sebelah kanan pendapa rumah Ki Gede Menoreh. Seekor induk ayam dan anak anaknya tampak berkeliaran di bawah pohon mangga sambil mengais ngais tanah di bawahnya, mencari sesuatu yang mungkin dapat diberikan untuk anak anaknya.

Selagi ketiga orang itu merenungi maksud dan tujuan dari orang orang yang berdatangan ke Tanah Perdikan Menoreh dengan segala macam ujud dan tingkah lakunya, tiba tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang berlari lari di sepanjang jalan yang menuju rumah Ki Gede Menoreh.

Dua orang pengawal yang menjaga regol depan segera bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan. Pertama tama mereka mengira bahwa yang berlari lari di sepanjang jalan menuju rumah Ki Gede itu adalah orang gila menilik dari ujudnya yang aneh. Pakaiannya compang camping dan berlepotan lumpur. Rambutnya yang riap riapan dan bercampur lumpur itu menutupi sebagian wajahnya sehingga untuk sesaat agak menimbulkan kesulitan bagi seseorang untuk mengenalinya.

Ketika langkah orang yang sekujur tubuhnya berlepotan lumpur itu tinggal beberapa langkah saja dari regol rumah Ki Gede, dua orang pengawal itupun segera merundukkan tombaknya.

Sejenak orang itu menjadi ragu ragu, namun kemudian katanya sambil menyibakkan rambutnya yang menutupi sebagian wajahnya, “He, apakah kalian tidak mengenalku? Hampir setiap sore aku mengunjungi rumah ini, dan menjelang tengah malam baru aku kembali. Siapapun yang bertugas saat itu pasti mengenalku.”

Dua orang pengawal itu mencoba melangkah mendekat untuk lebih mengenal lekuk lekuk wajahnya. Mereka berdua hampir saja berteriak sekeras kerasnya ketika orang yang berlepotan lumpur itu berusaha mengusap wajahnya dengan kedua tangannya yang kotor.

“Ki Jayaraga..? He, engkaukah itu, Ki..?” teriak kedua pengawal itu hampir bersamaan.
Ketiga orang yang sedang duduk duduk di pendapa itupun terlonjak kaget begitu mendengar teriakan dari kedua pengawal yang sedang bertugas menjaga regol depan rumah Ki Gede. Dengan segera ketiganya pun berdiri dan menghambur menuruni tangga pendapa menuju ke regol depan.

“Ki Jayaraga, apakah yang sebenarnya terjadi?” bertanya Ki Gede sesampainya di depan regol.

“Aku terjatuh di sawah sewaktu meniti pematang, Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga sambil tersenyum, kemudian melangkah memasuki halaman rumah Ki Gede.

Ki Gede dan orang orang yang ada disekitar regol itu mengerutkan keningnya. Adalah tidak masuk akal bagi Ki Jayaraga yang mereka ketahui memiliki kemampuan yang nggegirisi bisa terjatuh sewaktu meniti pematang.

Namun mereka pun kemudian menarik nafas dalam dalam ketika mendengar Ki Jayaraga berkata selanjutnya, “Ki Gede, ijinkan aku membersihkan diri dulu ke pakiwan. Barangkali ada pakaian sepengadeg yang sudah tidak dipakai lagi oleh Ki Gede dan dapat aku pinjam untuk sementara.”

“Ah,” Ki Gede tertawa pendek mendengar permintaan Ki Jayaraga, “Engkau dapat memilih pakaian yang terbaru sekalipun, Ki Jayaraga, dan engkau tidak mempunyai kuwajiban untuk mengembalikannya.”

Ki Jayaraga mengangguk anggukan kepalanya, “Memang aku tidak akan mengembalikan pakaian itu dalam ujud aslinya, namun sejumlah uang seharga sepengadeg pakaian baru itulah yang harus kukembalikan.”

Segera saja terdengar suara tertawa berkepanjangan dari orang-orang yang ada di dekat regol halaman Ki Gede itu. Sementara Ki Gede hanya tersenyum saja mendengar gurauan Ki Jayaraga. Bagaimanapun juga, pranggraitanya sebagai orang yang sudah mengalami pasang surutnya kehidupan di Tanah Perdikan Menoreh ini tidak dapat dikelabui.

Sejenak kemudian Ki Gede Menoreh telah mengajak Ki Jagabaya dan Prastawa untuk kembali ke pendapa, sementara Ki Jayaraga dengan tergesa gesa berjalan melewati depan gandhok sebelah kanan dari rumah Ki Gede menuju ke pakiwan yang ada di belakang dapur.

Setelah Ki Jayaraga selesai membersihkan diri dan berganti pakaian sepengadeg yang benar-benar masih baru yang disediakan oleh salah seorang pembantu rumah Ki Gede, maka dia pun segera bergabung dengan mereka yang telah duduk duduk terlebih dahulu di pendapa.

“Marilah Ki Jayaraga,” Ki Gede memepersilahkan Ki Jayaraga yang muncul dari balik pintu serambi yang memisahkan serambi dalam dan pendapa yang luas dari rumah Ki Gede Menoreh.

Ki Jayaraga tersenyum sambil melangkah mendekati mereka yang telah terlebih dahulu duduk di tengah tengah pendapa beralaskan tikar pandan yang putih bersih. Beberapa mangkuk minuman hangat dan penganan ternyata telah tersedia pula.

Sambil membetulkan letak duduknya dan membenahi kain panjangnya, Ki jayaraga menatap satu persatu wajah wajah dari orang orang yang hadir di pendapa itu. Ketika tatapan matanya tertumbuk pada seraut wajah tua Ki Gede Menoreh, betapa garis garis kehidupan telah banyak menghiasi wajah tua itu. Gejolak yang bagaikan silih berganti yang terjadi di tanah ini telah membuat Ki Gede terlihat lebih tua dari umur yang sebenarnya.

“Silahkan Ki Jayaraga, mumpung masih hangat,” desis Ki Gede mempersilahkan Ki Jayaraga untuk sekedar meneguk minuman wedang sere yang masih hangat dan mencicipi makanan sekedarnya.

“Aku memang menjadi seperti orang yang kelaparan,” kata Ki Jayaraga sambil meraih mangkuk yang ada di depannya. Setelah mereguk beberapa teguk, diletakkannya kembali mangkuk itu di tempat semula. Terasa betapa segarnya minuman itu setelah Ki Jayaraga memeras tenaga menghadapi para murid dari padepokan Toya Upas.

Semua gerak gerik Ki Jayaraga itu tidak terlepas dari perhatian orang orang di sekelilingnya. Sebenarnyalah mereka sudah tidak sabar lagi untuk mendengar peristiwa apakah yang sebenarnya telah menimpa Ki Jayaraga? Tentu saja mereka tidak mengharapkan cerita tergelincirnya dia dari pematang atau cerita sejenisnya, namun sedikit banyak mereka sudah mulai menduga duga keadaan Ki Jayaraga dengan kehadiran orang orang asing di Perdikan Menoreh ini.

Agaknya Ki Jayaraga menyadari bahwa dirinya telah ditunggu, maka katanya kemudian, “Maaf Ki Gede, bukan maksudku untuk mengulur waktu, namun aku benar benar lelah dan kelaparan setelah tubuh yang tua ini masih dipaksa untuk berkelahi menghadapi orang orang dari lereng Gunung Lawu.”

“Orang orang dari lereng Gunung Lawu?” serentak mereka yang ada di pendapa itu terkejut.

“Ya,” sahut Ki Jayaraga, “Murid murid dari padepokan Toya Upas yang sangat senang bermain main dengan racun.”

Ki Gede mengerutkan keningnya sambil berdesis perlahan, “Apapun ujud padepokan Toya Upas itu, namun menilik dari kegemarannya bermain dengan racun, perguruan itu tentu bukan suatu perguruan yang bersih, yang menjunjung tinggi nilai nilai dan harkat hubungan antar sesama dan hubungan dengan Penciptanya.”

“Ki Gede benar. Dalam pertempuran yang baru saja aku alami, mereka sama sekali tidak memperdulikan segala macam unggah ungguh dan tatanan. Mereka berkelahi dengan cara yang kasar dan liar. Bahkan tidak jarang mereka berlaku curang dan licik.”

Ketiga orang yang mendengarkan cerita Ki Jayaraga itu saling pandang sejenak. Prastawa yang tidak dapat menahan diri diantara mereka itu pun akhirnya bertanya, “Apakah maksud Ki Jayaraga dengan mereka? Apakah itu berarti Ki Jayaraga harus bertempur dengan lawan yang lebih dari satu?”

“Engkau benar, Prastawa. Mereka adalah kakak beradik dari perguruan Toya Upas yang bernama Wirapati dan Surengpati. Bahkan menurut cerita mereka, masih ada lagi adik seperguruan mereka yang bernama Wanengpati. Tetapi tidak dapat ikut datang ke Tanah Perdikan ini karena sedang terluka ketika terjadi perselisihan dengan Swandaru dari Sangkal Putung.”

“Swandaru,” tanpa sesadarnya mereka bertiga mengulang nama itu, dan sebuah desir yang tajam telah menusuk hati Ki Gede Menoreh, hati yang seharusnya lebih banyak merasakan tentram dan damai di hari hari tuanya.

Ki Jagabaya yang sedari tadi hanya berdiam diri ternyata tidak kuat menahan hatinya begitu Ki Jayaraga menyebut nama Swandaru. Bagi para bebahu Tanah Perdikan Menoreh nama Swandaru adalah suatu kebanggaan dan harapan yang dapat meneruskan kejayaan Keluarga Menoreh walaupun sampai saat ini Swandaru masih terikat dengan Kademangannya dan justru Agung Sedayu lah yang ternyata telah banyak berbuat bagi tanah ini walaupun secara trah Menoneh, Agung Sedayu bukan sanak dan bukan kadang.

“Maaf Ki Jayaraga,” bertanya Ki Jagabaya, “Hubungan apakah yang menyebabkan terjadinya perselisihan antara Anakmas Swandaru dengan murid dari perguruan Toya Upas itu?”

Ki Jayaraga termangu mangu sejenak. Tanpa disadarinya dia berpaling kearah Ki Gede Menoreh. Betapapun juga Swandaru adalah suami dari anak perempuan satu satunya Ki Gede. Cerita tentang perilaku Swandaru yang buram akan dapat mempengaruhi kewibawaan Ki Gede dan citra Swandaru itu sendiri di kalangan para bebahu dan seluruh kawula di Tanah Perdikan Menoreh.

Betapapun berbagai pertimbangan tumpang tindih di dalam dada Ki Jayaraga, namun dia harus menjawab pertanyaan Ki Jagabaya agak tidak menimbulkan tanggapan yang kurang pada tempatnya.

“Persoalan yang sebenarnya akupun tidak begitu jelas,” berkata Ki Jayaraga mencoba merangkai kata sebaik mungkin agar tidak ada pihak yang tersinggung, “Namun kenyataannya adalah Swandaru telah berselisih dengan Wanengpati. Ternyata Swandaru terlalu perkasa untuk ukuran murid padepokan Toya Upas itu.”

Ada semacam kebanggaan yang mengembang dihati Prastawa dan Ki Jagabaya mendengar cerita Ki Jayaraga tentang kehebatan Swandaru itu, namun sebaliknya berita itu justru membuat Ki Gede semakin prihatin dengan tingkah laku Swandaru yang semakin tidak terkendali. Sudah seharusnya semakin bertambahnya umur seseorang dan kematangan ilmu yang dikuasainya akan semakin menambah kesabaran dan kebijaksanaan dalam setiap mengambil sebuah keputusan.

“Bagaimana dengan kedua murid perguruan Toya Upas yang bertempur dengan Ki Jayaraga?” kembali Prastawa bertanya.

Untuk sejenak Ki Jayaraga termangu mangu. Sebelum dia menjawab pertanyaan Prastawa, Ki Gede ternyata telah mengajukan pertanyaan yang membuat hati Ki Jayaraga semakin berdebar debar.

“Ki Jayaraga, permasalahan apakah sebenarnya yang telah menyebabkan murid perguruan Toya Upas berbenturan dengan Ki Jayaraga?”

Belum sempat Ki Jayaraga menjawab semua pertanyaan itu, Ki Jagabayapun telah menambahkan, “Bahkan sekarang di Tanah Perdikan Menoreh ini telah banyak berkeliaran orang orang yang tidak dikenal, menilik cara mereka berpakaian dan bersikap, mereka tidak mungkin berasal dari satu golongan tertentu, dan kemungkinan salah satunya adalah dari perguruan Toya Upas yang telah berselisih dengan Ki Jayaraga itu.”

Ki Jayaraga terpekur diam. Berbagai persoalan bercampur aduk di dalam hatinya. Tidak mungkin dia membeberkan tujuan dari perguruan perguruan yang datang berbondong bondong ke Tanah Perdikan Menoreh untuk mencoba keberuntungan mereka, memburu kitab peninggalan Empu Windujati. Demikian juga sumber berita yang menyebabkan tersebarnya keberadaan kitab peninggalan Empu Windujati itu tidak mungkin akan disampaikannya dihadapan mereka semua yang hadir di pendapa itu.

Sikap diam dan keragu-raguan yang tercermin di wajah Ki Jayaraga telah membuat hati Ki Gede semakin berdebar debar. Hubungan antara perselisihan Swandaru dengan salah satu murid perguruan Toya Upas dan benturan Ki Jayaraga dengan murid murid perguruan Toya Upas yang lainnya yang terjadi justru di tanah Perdikan ini, telah menimbulkan dugaan dugaan yang mendebarkan.

“Ki Gede,” akhirnya Ki Jayaraga memutuskan untuk memberitahukan permasalahan yang harus segera ditangani, “Aku meninggalkan dua sosok mayat di bawah gubuk yang terletak di pesawahan Ki Rangga Agung Sedayu. Ki Gede mungkin dapat memerintahkan para pengawal untuk menyelenggarakan mereka sebagaimana mestinya. Aku tidak mempunyai pilihan lain. Untuk menawan mereka hidup hidup adalah suatu pekerjaan yang mustahil sebab mereka selalu berusaha untuk menggoreskan kuku kuku beracun mereka kapan saja mereka mempunyai kesempatan.”

Ketiga orang yang mendengar nasib dari murid murid perguruan Toya Upas itu terkejut bukan kepalang. Ternyata Ki Jayaraga telah menyelesaikan lawan lawannya dengan tuntas, walaupun dengan sangat terpaksa.

Debar di jantung Ki Gede Menorehpun semakin kencang. Darah pertama dari permasalahan yang membelit Tanah Perdikan ini telah tertumpah dan mungkin akan segera disusul dengan peristiwa peristiwa lainnya yang tidak menutup kemungkin akan menyebabkan pertumpahan darah yang semakin dahsyat.

“Paman,“ berkata Prastawa setelah menimbang nimbang beberapa saat, “Sebaiknya Paman memerintahkan beberapa pengawal untuk menyelenggarakan jenazah dari kedua murid perguruan Toya Upas itu sesegera mungkin agar keberadaannya tidak diketahui masyarakat luas dan dapat menimbulkan kegelisahan.”

Ki Gede Menoreh mengangguk anggukan kepalanya. Ketika tanpa sengaja pandangan matanya bertemu dengan pandang mata Ki Jagabaya, Ki Gede pun segera memberikan perintahnya, “Ki Jagabaya, pergilah dengan beberapa pengawal. Usahakan jangan sampai menimbulkan kegelisahan rakyat Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ijinkan aku ikut Ki Jagabaya, Paman,” tiba tiba Prastawa menyela.

“Pergilah kalian berdua. Jangan terlalu banyak membawa pengawal agar tidak menarik perhatian. Jangan lupa membawa peralatan sekedarnya agar pekerjaan kalian dapat berjalan dengan lancar.”

Demikianlah, Prastawa dan Ki Jagabaya pun segera minta diri. Dengan bergegas mereka berdua menuruni tlundak pendapa, kemudian menyeberangi halaman rumah Ki Gede yang luas. Setelah melewati regol, mereka pun segera menyusuri jalan yang menuju ke banjar padukuhan induk untuk menghubungi beberapa pengawal yang mereka perlukan.

Sepeninggal Prastawa dan Ki Jagabaya, berkali kali Ki Jayaraga menarik nafas dalam dalam untuk menenangkan debar jantungnya. Apakah kira kira yang akan dikatakan kepada Ki Gede seandainya dia mempertanyakan permasalahan yang sebenarnya, baik menyangkut masalah Swandaru maupun pertempuran yang baru saja terjadi pada dirinya dan ternyata telah memakan korban?

Angin sore bertiup perlahan menggoyangkan dedaunan dari pohon pohon yang tumbuh di halaman rumah Ki Gede. Seekor induk ayam dan anak anaknya melintas halaman menuju gandok sebelah kiri. Sambil sesekali mengais ngais tanah yang dilewatinya, akhirnya induk ayam dan anak anaknya itu menyelusuri dinding sisi sebelah kiri regol untuk kemudian menghilang di belakang Gandok.

“Ki Jayaraga,” perlahan Ki Gede bertanya, “Apakah Ki Jayaraga dapat menjelaskan dengan gamblang apakah yang sebenarnya telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh ini? Adakah hubungan antara yang terjadi pada Ki Jayaraga dengan Swandaru?”

Ki Jayaraga menggeser duduknya setapak mendekati Ki Gede. Seolah olah ada suatu rahasia yang hanya mereka berdua yang berhak mendengarnya.

“Ki Gede, perguruan perguruan yang datang berbondong bondong ke Tanah Perdikan ini sesungguhnya ada yang mereka cari.” Desis Ki Jayaraga pelan.

“Apakah yang mereka cari di tanah ini?”

“Mereka mencari sebuah kitab yang diwariskan turun temurun dari sebuah perguruan yang besar sejak jaman Majapahit.”

Ki Gede mengerutkan keningnya dalam dalam begitu mendengar Majapahit disebut sebut. Segera saja ingatan Ki Gede tertuju pada Kiai Gringsing. Keturunan Majapahit sekaligus pewaris ilmu sebuah perguruan besar Windujati yang memilih hidup diantara orang kebanyakan.

“Apakah yang dimaksud Ki Jayaraga itu perguruan Empu Windujati,” dengan ragu ragu Ki Gede mencoba menebak.

“Ya Ki Gede, mereka berbondong bondong datang kesini untuk memperebutkan kitab pusaka warisan perguruan Empu Windujati yang kini berada di tangan Ki Rangga Agung Sedayu.”

Wajah Ki Gede menunjukan keheranan yang sangat, lalu katanya, “Dari manakah orang orang itu mengetahui keberadaan kitab Empu Windujati?”

Ki Jayaraga tertunduk dalam dalam. Dicobanya untuk tetap tenang dalam menuturkan kejadian yang sebenarnya agar tidak menyinggung perasaan Ki Gede. Selain itu, lebih baik Ki Gede mendengar langsung cerita itu dari dirinya walaupun kebenarannya masih perlu diuji karena tidak menutup kemungkinan cerita dari murid murid perguruan Toya Upas itu ada yang ditambah atau bahkan dikurangi, disesuaikan dengan keperluan mereka.

Ketika Ki Jayaraga telah selesai menuturkan kejadian antara Swandaru dengan Wanengpati sesuai dengan penuturan murid murid perguruan Toya Upas tanpa dikurangi dan ditambah, dada Ki Gede Menoreh pun bagaikan tersayat sembilu menembus jantung. Hati orang tua itu hancur berkeping keping mendengar tingkah polah Swandaru, suami dari anak perempuan satu satunya. Akankah hati Pandan Wangi kuat menahan goncangan sekali lagi setelah peristiwa yang lalu? Peristiwa yang melibatkan Swandaru dengan seorang perempuan pengikut Ki Saba Lintang?

Sejenak Ki Gede Menoreh merenung. Masa kecil Pandan Wangi dilalui dengan penuh keprihatinan. Dibawah asuhan seorang ibu yang selalu merasa bersalah dan cacat dihadapan suaminya. Satu satunya teman bermain yang selalu setia menemaninya adalah kakaknya, Sidanti. Namun Kakaknya yang selalu berwajah murung itu ternyata lebih sering tinggal dirumah bibinya dari pada dirumahnya sendiri.

Kadang terucap pertanyaan dari Pandan Wangi kecil waktu itu, mengapa Kakaknya lebih sering tinggal di rumah Bibinya? Sedangkan dia membutuhkan kawan bermain? Dan jawab Ibundanya selalu itu itu saja, bahwa Sidanti harus mengawani Bibinya, karena Bibinya itu tidak mempunyai seorang keturunanpun.

Ketika kemudian Sidanti harus pergi mengikuti Gurunya, Ki Tambak Wedi, hati gadis kecil itu bagaikan belanga yang terbanting di atas batu batu padas di gerojokan, hancur berkeping keping. Satu satunya saudara yang dia punya telah pergi meninggalkannya entah untuk berapa lama. Tidak ada lagi yang mencarikan buah jambu air yang tumbuh rimbun di samping dapur untuknya, atau mengumpulkan biji sawo kecik untuk bermain dakon.

Terbayang kembali di ingatan Ki Gede, betapa Pandan Wangi kecil itu telah tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang pemurung. Sepeninggal ibunya yang meninggal karena sakit, Pandan Wangi benar benar telah menjadi seorang gadis yang tertutup. Ketertarikannya pada dunia olah kanuragan serta kesenangannya berburu telah menjadikan Pandan Wangi seorang gadis yang aneh, pemurung dan penyendiri.

Ketika kemudian Sidanti kembali ke Tanah Perdikan Menoreh bersama gurunya Ki Tambak Wedi dan Pamannya Ki Argajaya yang memang diberi tugas oleh Ayahnya untuk menengok keadaan Sidanti, ada sepercik kegembiraan yang menyentuh hatinya, namun kegembiraan itu hanya sesaat, berganti dengan kesedihan yang tiada taranya setelah mengetahui jati dirinya dan kakaknya. Ternyata kedatangan kakaknya ke Tanah Perdikan ini bukan untuk memetikkan buah jambu air atau mencarikan biji sawo kecik untuk bermain dakon, tetapi kedatangannya justru membawa api yang telah membakar seluruh Tanah Perdikan Menoreh.

Kembali Ki Gede menarik nafas dalam dalam. Panggraitanya sebagai seorang ayah yang mempunyai anak gadis menjelang dewasa, tersentuh waktu itu ketika melihat keakraban pergaulan antara anak gadisnya dengan seorang gembala yang bernama Gupita. Sorot mata yang penuh keceriaan dan kegembiraan, solah tingkah yang malu malu dan canggung namun sangat perhatian bila bertemu dengan Gupita, telah mengisyaratkan kepada Ki Gede, bahwa anak gadisnya telah menjatuhkan pilihan hatinya kepada anak gembala yang bernama Gupita itu.

Namun sekali lagi, hati Pandan Wangi hancur berkeping keping setelah mengetahui bahwa Gupita yang ternyata bernama Agung Sedayu itu telah mempunyai seorang gadis pilihan hatinya, gadis yang selalu berwajah ceria, yang dengan penuh semangat menyongsong masa depannya, gadis anak Demang Sangkal Putung yang bernama Sekar Mirah.

Ketika api yang membakar Tanah Perdikan Menoreh itu kemudian dapat dipadamkan atas bantuan Kiai Gringsing dan murid muridnya, ada suatu kuwajiban yang dengan sadar telah dipikulkan dipundaknya sendiri, kuwajiban untuk membalas budi dan menyenangkan hati Ayahnya yang telah banyak menderita dalam mengarungi kehidupan ini.

Tanpa disadarinya, perlahan lahan Ki Gede Menoreh berdesah dalam hati, “Sesungguhnya pilihanmu yang pertama itu tidak salah, Wangi. Keadaanlah yang salah, seandainya tidak ada gadis yang bernama Sekar Mirah itu, alangkah bahagianya engkau dalam meniti hari hari depanmu? Dan akupun tidak akan mengalami kesulitan dalam membina masa depan Tanah Perdikan Menoreh ini.”

Kini Ki Gede menoreh menyadari sepenuhnya, bahwa apa yang telah dilakukan Pandan Wangi saat itu hanyalah memenuhi kuwajibannya sebagai ujud bakti seorang anak kepada orang tuanya, sebagai tanda bakti kepada tanah leluhurnya yang telah diselamatkan dari kehancuran, sebagai tanda balas budi atas kebaikan yang telah diberikan oleh sesamanya.

Peristiwa demi peristiwa yang telah terjadi di masa lalu itu seolah olah tergambar kembali dalam ingatan Ki Gede, satu demi satu silih berganti. Ada semacam penyesalan di hati orang tua itu tentang keadaan yang telah menjerumuskan anak perempuan satu satunya itu ke dalam jurang kesedihan yang tiada berakhir, dan ternyata Ki Gede sebagai orang tua telah merasa ikut berperan dalam menciptakan kisah sedih ini.

“Ki Gede,” perlahan Ki Jayaraga berkata sambil mencoba menyadarkan Ki Gede dari lamunannya, “Apakah tidak sebaiknya Ki Gede beristirahat? Sebentar lagi matahari akan terbenam, dan malam akan segera menjelang.”

Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam sekali, kemudian dihembuskannya nafas itu seolah olah ingin dilepaskannya semua beban yang memberati hatinya. Pandang matanya nanar menatap halaman rumahnya yang luas yang mulai remang remang. Cahaya matahari yang merah dengan lemahnya menggapai pucuk pucuk pepohonan membiaskan warna yang muram.

Tiba tiba Ki Gede merasa betapa sekujur tubuhnya menjadi sangat letih. Seluruh persendiannya terasa bagaikan terlepas dari ikatannya. Pandangan matanya menjadi kabur dan berkunang kunang.

Ketika kemudian Ki Jayaraga memegang lengannya, dengan berbisik Ki Gedepun berkata, “Bantu aku Ki Jayaraga, tubuh ini rasa rasanya sudah tidak bertenaga lagi. Sepertinya aku merasa, perjalananku sudah sampai kebatas.”

“Ki Gede,” Ki Jayaraga tersentak mendengar ucapan Ki Gede, “Saya kira Ki Gede hanya lelah saja. Marilah aku antar ke bilik Ki Gede untuk beristirahat. Semoga besuk pagi Ki Gede sudah sehat kembali.”

Dengan perlahan dan sangat hati hati, Ki Jayaragapun memapah Ki Gede menuju ke biliknya. Dengan tertatih tatih, Ki Gede melangkah satu satu dibantu oleh Ki Jayaraga. Betapa gagah perkasa dan tangguh tanggonnya Ki Gede dimasa muda, namun sama sekali tidak tampak sisa sisa kejayaannya di masa lalu itu. Ki Gede sekarang ini tidak ubahnya dengan orang kebanyakan yang menjalani sisa sisa dari masa akhir hidupnya.
Ketika mereka telah sampai di bilik Ki Gede, dengan perlahan dan hati hati Ki Jayaragapun membantu Ki Gede untuk berbaring di pembaringan yang terbuat dari kayu jati berukir. Tikar pandan yang tebal dan berangkap rangkap telah digelar diatas amben itu sebagai alas tidur.

Sementara itu, Sekar mirah yang sedang di dapur membantu para pembantu rumah Ki Gede untuk menyiapkan makan malam telah mendengar suara bergeremang dari arah serambi dan agaknya menuju ke bilik Ki Argapati.
Dengan tergesa gesa Sekar Mirahpun segera memasuki ruang dalam menuju ke bilik Ki Argapati.

Alangkah terkejutnya Sekar Mirah ketika kakinya melangkah memasuki bilik Ki Gede yang terbuka, dilihatnya Ki Jayaraga yang dengan sangat hati hati mencoba membantu Ki Gede berbaring. Dengan beringsut sedikit demi sedikit dari bibir amben, akhirnya orang yang sangat disegani dan dicintai oleh seluruh rakyat Tanah Perdikan Menoreh itupun dapat berbaring dengan sempurna diatas ranjang.

“Ki Gede, apakah yang telah terjadi?” dengan tergopoh gopoh Sekar Mirah segera duduk dibibir amben disebelah kaki Ki Gede, sementara Ki Jayaraga telah mengambil sebuah dingklik yang ada di sudut bilik untuk duduk didepan ranjang Ki Gede.

“Aku tidak apa apa, Mirah. Aku hanya sedikit lelah saja,” Ki Gede mencoba tersenyum, namun Sekar Mirah dapat melihat betapa sangat pucatnya wajah Ki Gede.

“Ki Jayaraga,” berkata Sekar Mirah kepada Ki Jayaraga, “Aku akan menyiapkan minuman hangat dan makan malam untuk Ki Gede, menurut Ki Jayaraga, apakah tidak sebaiknya kita memanggil tabib untuk merawat kesehatan Ki Gede?”

“Ah,” Ki Gede berdesah perlahan, “Alangkah manjanya orang tua ini? Sebaiknya kalian dapat meninggalkan aku sendiri, sesungguhnya aku tidak apa apa. Aku hanya merasa sedikit lelah saja.”

“Tidak, Ki Gede,” Sekar Mirahlah yang menyahut, “Ki Gede harus makan. Aku akan segera menyiapkannya untuk Ki Gede. Mungkin kalau Ki Jayaraga ingin makan malam dapat menemani Ki Gede sekalian?”

“Baiklah,” jawab Ki Jayaraga, “Aku akan menemani Ki Gede makan malam, tapi sementara engkau menyiapkan makan malam, aku akan ke regol sebentar untuk menyuruh pengawal memanggilkan Tabib yang terbaik yang ada di Tanah Perdikan ini.”

Ki Gede yang melihat betapa Sekar Mirah dan Ki Jayaraga sangat perhatian terhadap keadaan dirinya menjadi sangat treyuh. Mereka adalah orang orang yang bukan sanak dan bukan kadang bagi Ki Gede, namun perhatiannya melebihi anak dan menantunya sendiri.

Ketika kemudian kedua orang itu telah minta diri dan meninggalkan Ki Gede sendirian di dalam biliknya, seorang pelayan kemudian telah menyalakan lampu dlupak dari minyak kelapa dan memasangnya kembali di ajug ajug. Ruang bilik Ki Gedepun segera menjadi terang oleh cahaya kemerah merahan dari lampu dlupak itu.

Sementara itu dliluar langit telah mulai gelap, para pengawal telah menyalakan obor di regol depan dan tempat tempat yang sekiranya memerlukan penerangan. Seorang pengawal dengan tergesa gesa telah berlari lari menuju rumah seorang Tabib yang terbaik yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Ada desir yang aneh di dada pengawal itu sehubungan dengan diterimanya berita dari Ki Jayaraga tentang sakitnya Ki Gede. Sudah berulang kali Ki Gede mengalami sakit, namun sakit itu sering didapatkannya setelah mengalami pertempuran yang dahsyat. Kini Ki gede mengalami sakit yang aneh, tidak ada segores lukapun yang didapatkan Ki Gede, bahkan sakit itu terasa datang dengan tiba tiba.

Malam semakin merambat. Prastawa dan Ki Jagabaya yang telah selesai menunaikan tugasnya menyelenggarakan jenasah dari kedua murid perguruan Toya Upas bersama beberapa pengawal telah kembali. Setelah berpesan mawanti wanti kepada para pengawal yang ikut mengubur kedua murid perguruan Toya Upas untuk sedapat mungkin merahasiakan kejadian itu, merekapun kemudian berpencar, Ki Jagabaya dan para pengawal pulang kerumah masing masing, sedangkan Prastawa kembali ke rumah Ki Gede untuk memberikan laporan.

Langkah Prastawa yang sudah hampir mencapai regol depan rumah Ki Gede tertegun sejenak, ketika seorang pengawal yang sedang bertugas jaga dengan tergesa gesa menyongsong kedatangannya.

“Prastawa,” berkata pengawal yang sedang bertugas itu begitu sampai di depan Prastawa yang berdiri termangu mangu, “Apakah engkau sudah mengetahui keadaan Ki Gede yang sedang sakit?”

“Paman sedang sakit?” dengan heran Prastawa balik bertanya,
“Bukankah siang tadi Paman dalam keadaan sehat sehat saja ketika aku dan Ki Jagabaya menghadap?”

“Sepeninggal kalian, tiba tiba saja Ki Gede jatuh sakit, bahkan Ki Jayaraga harus memapahnya ketika Ki Gede bermaksud masuk ke dalam rumah untuk beristirahat.”

“He?” kali ini Prastawa benar benar terkejut, kemudian katanya sambil melangkah tergesa gesa memasuki regol, “Aku akan menengoknya.”

Pengawal itu hanya dapat mengangguk anggukkan kepalanya. Sambil berjalan kembali menuju regol, dia berdesis, “Semoga Ki Gede hanya letih saja. Seandainya terjadi apa apa, Tanah Perdikan ini sulit mencari pengganti seperti Ki Argapati.”

Kawannya yang sedang berdiri bersandaran di pintu regol menyahut, “Jangan berangan angan yang aneh aneh, berdoalah supaya Ki Gede diberi kesehatan dan kesempatan untuk tetap memimpin Tanah Perdikan ini.”

“Aku tidak berpikir yang aneh aneh, tapi selama ini menantu Ki Gede yang diharapkan menjadi pewaris yang akan memimpin Tanah Perdikan ini tak kunjung datang, dia lebih senang hidup di kampung halamannya, di tengah tengah lingkungan yang sudah sangat dikenalnya.”

“Bukan begitu,” bantah pengawal yang bersandaran di pintu regol, “Tentu saja Swandaru lebih mendahulukan Kademangannya untuk dibina, baru setelah itu dia akan merambah ke Tanah Perdikan ini.”

“Ya, aku menyadari itu, tapi sampai kapan?”

Pengawal yang bersandaran di pintu regol itupun termangu mangu.

“Ya, sampai kapan?” desisnya dalam hati, sementara waktu berjalan terus dan Ki Argapati sudah semakin tua. Prastawa yang diharapkan dapat menjadi orang kedua setelah Ki Gede ternyata tidak mampu melaksanakan tugas tugas yang dibebankan kepadanya. Setiap kali Ki Gede masih harus menegur dan menegur, namun perubahan yang diharapkan terjadi pada diri Prastawa tak kunjung tiba.

“Bagaimana dengan Agung Sedayu?” tiba tiba pengawal yang bersandaran di pintu regol itu menyelutuk.

Kawannya hanya menggeleng gelengkan kepalanya, tidak ada sepatah katapun yang terucap dari mulutnya.

Pengawal yang bersandaran di pintu regol itu menjadi heran melihat sikap kawannya, “Bukankah Agung Sedayu telah berbuat banyak untuk Tanah Perdikan ini? Aku masih ingat ketika pertama kali Agung Sedayu datang ke Tanah Perdikan ini untuk membantu Ki Gede membenahi segala tatanan kehidupan yang mengalami banyak kemunduran. Banyak pertentangan yang dialaminya waktu itu, salah satunya adalah dari kemenakan Ki Gede sendiri, Prastawa. Namun semua itu dapat diatasinya dengan sikap yang sangat dewasa dan lebih mementingkan pada keutuhan dan kesatuan rakyat Perdikan Menoreh dalam membangun kehidupan yang lebih baik.”

“Betapapun besarnya jasa Agung Sedayu dalam membangun Tanah Perdikan ini, dia tidak punya hak untuk menjadi salah satu pemimpin di Tanah Perdikan yang besar ini, karena secara trah, dia tidak mempunyai hubungan sangkut paut dengan keluarga Menoreh.”

Pengawal yang bersandaran di pintu regol itu hanya dapat menarik nafas dalam dalam sambil mengangguk anggukkan kepalanya. Ketika tanpa sadar dia mendongakkan kepalanya, tampak langit yang kelam tanpa hiasan sebuah bintangpun. Mendung yang gelap perlahan lahan menyelimuti langit bukit menoreh dan menambah muramnya suasana hati para pengawal yang sedang berjaga di regol depan rumah Ki Gede Menoreh.

Sementara itu dengan setengah berlari prastawa menyeberangi halaman rumah Ki Gede yang luas. Setelah melangkahi tlundak pendapa dan melintasi pendapa, Prastawapun dengan berdebar debar mendorong pintu pringgitan.

Entah perasaan apa yang sedang berkecamuk di dalam dada Prastawa. Sejak Sekar Mirah tinggal di rumah Ki Gede, ada sedikit keseganan untuk masuk ke dalam rumah Ki Gede. Dia tidak berani lagi dengan seenaknya memasuki rumah Ki Gede sebagaimana yang biasa dilakukannya sebelum ini walaupun rumah itu adalah rumah Pamannya sendiri.

Dengan sedikit bergegas, Prastawapun masuk keruang tengah. Ketika dilihatnya bilik Ki Gede terbuka, segera diayunkan langkah kakinya menuju ke bilik yang terbuka itu.

Sekejab hati Prastawa berdesir ketika dilihatnya Sekar Mirah sedang melayani Ki Gede dan Ki Jayaraga makan malam. Agaknya Ki Gede ingin makan malam di biliknya ditemani oleh Ki Jayaraga.

“Marilah Anakmas Prastawa,” Ki Jayaraga yang pertama kali melihat Prastawa masuk menyapa, “Barangkali anakmas belum makan malam. Makanan ini terlalu banyak untuk ukuran kami berdua yang sudah tua ini, engkau dapat bergabung jika menghendaki.”

“Terima kasih Ki Jayaraga, masih banyak waktu untuk makan malam, kedatanganku kemari justru aku telah mendengar berita dari para pengawal penjaga regol depan bahwa Paman Argapati telah jatuh sakit.”

“Ah,” Ki Argapati berdesah, “Berita itu telah dilebih lebihkan, Prastawa. Sebagaimana engkau lihat, aku tidak apa apa, aku hanya perlu istirahat.”

Prastawa termangu mangu. Sampai sedemikian jauh kehadirannya di bilik itu, Sekar Mirah sama sekali tidak mengacuhkannya. Dia terlihat begitu sibuk melayani Ki Gede, bahkan tidak segan segan Sekar Mirah membantu menyuapkan nasi ke mulut Ki Gede yang duduk bersandaran pada dinding bilik yang berhimpitan dengan amben tempat tidur Ki Gede.

“Perempuan sombong,” umpat Prastawa dalam hati, “Suatu saat engkau pasti jatuh kedalam kekuasaanku.”

“Prastawa,” berkata Ki Gede membuyarkan lamunannya, “Apakah engkau dan Ki Jagabaya telah selesai menunaikan tugasmu?”

“Sudah, Paman. Kedatanganku ini selain menjenguk keberadaan Paman juga sekaligus melaporkan apa yang telah kami kerjakan.”

“Baiklah, Prastawa. Jika tidak ada suatu hal yang penting, engkau dapat meninggalkan bilik ini. Besuk pagi saja kita bicarakan langkah langkah selanjutnya yang akan kita kerjakan, semoga besuk kesehatanku sudah lebih baik.”

“Tentu Ki Gede,” jawab Ki Jayaraga cepat, “Kita semua mendoakan Ki Gede.”

“Terima kasih,” desis Ki Gede hampir tak terdengar.

Ada semacam kekecewaan yang bercampur dengan dendam di hati Prastawa mendapatkan perlakuan yang demikian itu dari Sekar Mirah. Memang sejak Sekar Mirah tinggal di rumah Ki Gede, belum pernah sekalipun dia bertemu dengannya. Padahal hampir setiap hari Prastawa mengunjungi rumah Ki Gede, baik itu karena urusan pribadi maupun urusan yang berhubungan dengan tata pemerintahan Perdikan Menoreh.

“Baiklah, Paman,” akhirnya Prastawa menjawab, “Sebaiknya aku minta diri, kepada seluruh yang ada di bilik ini. Besuk pagi aku akan menghadap Paman lagi untuk menerima perintah lebih lanjut.”

Tanpa menunggu jawaban dari Ki Gede, Prastawapun kemudian bergeser keluar dari bilik Ki Gede.

Sekar Mirah sama sekali tidak berpaling, disibukkannya dirinya merawat Ki Gede walaupun dia tahu bahwa Prastawa dengan sengaja telah menyindirnya, namun Sekar Mirah tetap tidak menanggapinya sama sekali.

Setelah selesai melayani orang orang tua itu makan malam, Sekar Mirahpun minta diri sambil membawa mangkuk mangkuk yang kotor. Seorang pelayan telah dipanggilnya untuk membantu mengangkat makanan dan minuman yang masih tersisa.

Ketika kemudian Tabib yang telah dipanggil itu datang ke bilik Ki Gede, Ki Jayaragapun mempunyai alasan untuk sejenak mencari udara segar diluar.

“Aku mohon diri keluar sebentar, Ki Gede,” berkata Ki Jayaraga sambil bangkit dari tempat duduknya, “Biarlah Tabib ini yang menemani sekaligus memeriksa kesehatan Ki Gede ditemani seorang pelayan. Barangkali Tabib ini memerlukan sesuatu untuk meramu obat atau apapun yang dapat meningkatkan kesegaran dan kesehatan Ki Gede"
“Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih Ki Jayaraga, bantuan dari Ki Jayaraga sangat kami butuhkan di hari hari mendatang,” jawab Ki Gede sambil tersenyum.

Sejenak kemudian Ki Jayaraga telah keluar dari bilik Ki Argapati, sedangkan Tabib yang telah dipanggil untuk memeriksa kesehatan Ki Gede segera bekerja dengan cermat dibantu oleh seorang pelayan yang ada di rumah Ki Gede Menoreh.

Malampun semakin larut dan dingin. Untuk menjaga hal hal yang tidak diinginkan, Ki Jayaraga ternyata telah bermalam di rumah Ki Gede. Seperti biasanya, apabila Ki Jayaraga bermalam di rumah Ki Gede, seorang pelayan telah menyiapkan sebuah bilik yang ada di gandok sebelah kanan.

Sementara itu rumah Ki Rangga Agung Sedayu dibiarkan saja kosong. Tidak ada secercah cahayapun yang keluar dari sela sela dinding rumah yang terbuat dari papan. Keadaan rumah yang gelap gulita itu justru membuat orang orang asing yang datang ke Tanah Perdikan Menoreh untuk memburu Kitab perguruan Empu Windujati itu menjadi ragu ragu untuk memasukinya. Selain memperhitungkan perguruan lain yang mungkin telah berada ditempat itu lebih dahulu, mereka juga memperhitungkan jebakan yang mungkin sengaja dibuat oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, atau bahkan oleh pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan itu.

Ketika kemudian matahari bersinar dengan cerahnya di hari berikutnya, justru seluruh rakyat Tanah Pedikan Menoreh sedang menanggung duka yang dalam. Berita sakitnya pemimpin mereka, Ki Argapati yang akrab dipanggil Ki Gede Menoreh telah menyebar keseluruh pelosok Tanah Perdikan itu.

Sekar Mirah yang pertama kali menjenguk ke bilik Ki Gede di pagi itu benar benar terkejut mendapati Ki Gede tergolek dengan lemahnya. Wajahnya sangat pucat dan nafasnyapun tersengal sengal. Dengan telaten dan cekatan, segera dibantunya Ki Gede duduk bersandar.

“Ki Gede, apakah Ki Gede berkenan minuman hangat?” bertanya Sekar Mirah sambil membenahi selimut Ki Gede.

“Terima Kasih, Mirah. Untuk sementara aku tidak membutuhkan apa apa.” Jawab Ki Gede sambil mencoba tersenyum sewajar mungkin.

“Tapi wajah Ki Gede sangat pucat dan berkeringat dingin. Aku akan minta tolong seorang pengawal untuk memanggil Tabib itu lagi.”

“Itu tidak perlu, Mirah,” desis Ki Gede diantara desah nafasnya yang memburu, “Justru aku akan sangat senang apabila ada seseorang yang memberitahukan keadaanku ini kepada Pandan Wangi dan Swandaru. Aku ingin berbicara dengan mereka sehubungan dengan nasib Tanah Perdikan ini sebelum segala sesuatunya terjadi, sebelum raga yang tua ini kembali ke alam abadi.”

“Ki Gede,” terasa sesuatu menyumbat kerongkongan Sekar Mirah. Setetes demi setetes air matanya pun jatuh berderai derai.

  ----->>  Bersambung ke jilid 398  <<-----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar